Sumber: Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia , Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1965. Scan PDF Brosur
Dalam bulan September, Oktober, dan November 1964, Pengurus Besar Front Nasional telah melaksanakan Pendidikan Kader Revolusi (PEKAREV) Angkatan Dwikora di Jakarta. Selama Pekarev angkatan itu, Menko/Wakil Ketua MPRS dan Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia, D. N. Aidit telah memberikan sejumlah kuliah, di samping mengenai mata pelajaran Manipol/Usdek juga mengenai mata pelajaran Membangun Dunia Kembali (MDK) dengan judul Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia.
Kuliah D. N. Aidit tentang Manipol/Usdek yang berjudul REVOLUSI INDONESIA (Latar Belakang Sejarah dan Hari Depannya) telah kami terbitkan pada akhir Desember 1964.
Sekarang dengan seizin pengkuliah kumpulan seri kuliah tentang MDK kami terbitkan dengan judul yang sama dengan judul kuliah.
Semoga penerbitan ini akan merupakan sumbangan pada usaha menjabarkan pengertian tentang politik luar negeri Indonesia, tentang dasar-dasarnya, tentang latar belakang sejarahnya, msa kini, dan hari depannya, sebagai aspek yang sangat penting dari perkembangan revolusioner di Indonesia, di Asia Tenggara, dan di Asia-Afrika pada umumnya.
Penerbit
Mata pelajaran “Membangun Dunia Kembali” diberikan oleh 3 orang, yaitu Sdr. Ali Sastroamijoyo S. H., Ibu Haji Aminah Hidayat, dan saya sendiri. Bagian yang akan saya uraikan ini berjudul “Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia”. Judulnya sendiri sudah mengharuskan supaya penguraian tentang masalah politik luar negeri dihubungkan dengan Revolusi Indonesia, tentang fungsi dan tugasnya untuk mengabdi kepada kepentingan dan tujuan Revolusi Indonesia. Ini memang tidak bisa lain. Adalah satu keharusan yang fundamental untuk selalu mengabdikan setiap aktivitas kita, apapun ragamnya dan di bidang manapun juga, kepada kepentingan dan tujuan Revolusi Indonesia.
Kepentingan dan tujuan Revolusi Indonesia tidak hanya terbatas pada kepentingan dan tujuan nasional daripada revolusi kemerdekaan Indonesia, tetapi juga pada kepentingan dan tujuan internasional, yaitu membangun dunia kembali, dunia baru yang bebas dari l’exploitation de l’homme pas l’homme, yaitu dunia sosialis. Ini disebabkan karena Indonesia tidak bisa terlepas dari perkembangan masyarakat dunia pada umumnya, juga sebagaimana sering dikatakan bahwa Revolusi Indonesia merupakan bagian dari revolusi dunia. Dengan demikian, tugas kuliah ini ialah untuk menjelaskan teori dan praktik politik luar negeri sebagaimana ia harus dilakukan agar dapat mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan dan tujuan ini, sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.
Kita tidak dapat membangun dunia kembali, jika kita tidak mengenal keadaan dan perkembangan masyarakat dunia dewasa ini dan tempat yang diduduki oleh Indonesia di dalamnya. Oleh karena itu, terlebih dulu saya akan memberikan pandangan global tentang situasi internasional dewasa ini.
Metode yang akan saya pakai dalam pembahasan ini ialah metode Marxis yaitu metode daripada ilmu yang sudah lama ditegaskan oleh Bung Karno sebagai satu-satunya ilmu yang kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, politik, dan kemasyarakatan.
A. KONTRADIKSI-KONTRADIKSI DASAR DI DUNIA DEWASA INI
Dalam Tavip ditegaskan bahwa “Asia Tenggara adalah pusat telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia (halaman 31). Jadi Tavip menyebut tentang adanya kontradiksi-kontradiksi dunia. Memang kita tidak bisa memahami perkembangan masyarakat dunia, apalagi membangun dunia kembali, jika kita tidak memahami kontradiksi-kontradiksi dunia, sebagaimana halnya kita tidak bisa memahami hal-ihwal atau materi apabila kita tidak memahami kontradiksi-kontradiksi yang selamanya ada dalam setiap hal-ihawal atau materi itu.
Misalnya, untuk mengetahui keadaan Indonesia sekarang, kita mesti mengetahui tentang kontradiksi-kontradiksi yang ada di Indonesia sekarang seperti kontradiksi antara nasion Indonesia dengan imperialisme, kontradiksi antara kaum tani dengan feodalisme, kontradiksi antara buruh dengan kapital, dan sebagainya. Dalam diri kita sendiri pun terdapat kontradiksi-kontradiksi dan setiap hari kita menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi tersebut, misalnya kontradiksi antara pikiran kolot dengan pikiran progresif, kontradiksi antara malas dengan aktif, kontradiksi antara baik dengan jelek. Dan kalau kita terus berusaha setiap hari menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi dalam diri kita dengan memenangkan segi-segi yang positif dan mengalahkan segi-segi yang negatif, maka kita akan terus maju menjadi seorang revolusioner yang baik. Sesungguhnya tugas kaum revolusioner tidaklah lain daripada menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi baik dalam masyarakat maupun dalam pikiran.
Jadi, apakah kontradiksi-kontradiksi di dunia dewasa ini? Ada banyak kontradiksi di dunia. Tetapi dari yang banyak itu ada 4 kontradiksi dasar. Dengan kontradiksi dasar dimaksudkan, kontradiksi-kontradiksi yang memberi ciri kepada dunia kita dewasa ini. Kontradiksi-kontradiksi lain yang terdapat di dunia kita sekarang, misalnya kontradiksi antara negara-negara NEFO, termasuk antara negara-negara Sosialis, adalah kontradiksi-kontradiksi tidak dasar, adalah bukan kontradiksi-kontradiksi yang memberi ciri pada dunia kita sekarang.
Empat kontradiksi dasar itu ialah:
Dua kontradiksi yang terdahulu, yaitu kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme dan antara proletariat dengan borjuasi (kaum kapitalis) di negeri-negeri kapitalis, adalah kontradiksi-kontradiksi yang penyelesaiannya bertujuan menciptakan masyarakat sosialis di dunia. Sedang penyelesaian kontradiksi nomor 3, yaitu kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialis, bertujuan melahirkan negara-negara merdeka seperti yang terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bila kontradiksi ini diselesaikan dengan konsekuen, maka perspektifnya ialah masyarakat Sosialis pula, tetapi bila setengah-setengah (tidak konsekuen) maka hanya akan melahirkan negara-negara semacam “Malaysia” atau negara-negara yang menempuh jalan kapitalisme dan tidak dapat melepaskan ketergantungannya pada imperialisme.
Kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme, antara proletariat dengan borjuasi di negeri-negeri kapitalis, dan antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme menampakkan diri dalam perjuangan raksasa untuk menggulingkan kekuasaan imperialis dan sistem kapitalis di muka bumi ini. Perjuangan-perjuangan ini merupakan konfrontasi antara NEFO dan OLDEFO.
Kontradiksi antara kaum imperialis tidak akan dapat diselesaikan oleh kaum imperialis sendiri. Kontradiksi ini baru dapat diselesaikan jika kaum buruh dan semua Rakyat pekerja di semua negeri imperialis bangkit dan berhasil menggulingkan kekuasaan imperialis. Sudah dua kali perang dunia dicetuskan oleh kaum imperialis, tetapi kontradiksi di kalangan mereka hingga kini masih ada dan akan tetap tak terselesaikan oleh mereka sendiri.
Antara keempat-empat kontradiksi terdapat saling-hubungan dan saling-pengaruh. Maka itu, untuk mengubah ciri dunia dewasa ini atau untuk membangun dunia kembali, kita harus berjuang dengan gigih dan memecahkan keempat kontradiksi dasar tersebut.
Tetapi, kita tidak cukup hanya mengenal keempat kontradiksi-dasar. Kita tidak hanya harus pandai membedakan kontradiksi dasar dari kontradiksi-kontradiksi lainnya yang tidak dasar (misalnya kontradiksi antara negara-negara NEFO, termasuk antara negara-negara Sosialis, dan lain-lain), tetapi kita harus juga pandai memilih dari kontradiksi dasar ini, mana yang merupakan kontradiksi pokok, yaitu kunci dari kontradiksi-kontradiksi dasar tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang menentukan keadaan dan perkembangan kontradiksi-kontradiksi lainnya.
Dari pergolakan perjuangan revolusioner di seluruh dunia dewasa ini, dapat kita ketahui bahwa dari 4 kontradiksi dasar tersebut, ada 2 kontradiksi pokok, yaitu:
Dewasa ini dalam skala dunia, kedua kontradiksi-pokok itu merupakan 2 arus perkasa melawan imperialisme, yang bersatu menjadi satu arus besar Revolusi Dunia.
Adalah wajar bahwa kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme merupakan kontradiksi pokok karena imperialisme yang dikepalai oleh Amerika Serikat tetap bertujuan untuk menghancurkan Sosialisme. AS tidak bisa merajai dunia selama ada negeri Sosialis seperti Uni Soviet dan RRC yang mempunyai senjata nuklir. Jadi, walaupun ada sementara orang mau mengaburkan kontradiksi itu, namun tetap kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme adalah kontradiksi pokok.
Kontradiksi pokok yang lain adalah kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme. Kontradiksi ini terang dan jelas terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Di daerah AAA, dewasa ini terdapat situasi revolusioner yang terus menanjak dan mematang sebagaimana dibuktikan oleh tingkat perjuangan Rakyat revolusioner yang menggelora dengan hebatnya di daerah ini. Mata rantai imperialisme yang paling lemah terdapat di Benua AAA. Oleh karena itu, di tempat di mana imperialisme lemah ini harus menjadi titik berat perjuangan mengganyang imperialisme. Bahkan, dewasa ini bentuk konfrontasi yang tertinggi, yaitu perjuangan bersenjata, terdapat di negeri-negeri AAA. Hal ini tidak hanya dibuktikan oleh perjuangan bersenjata Rakyat Vietnam Selatan, ataupun oleh Rakyat Konggo dan Venezuela, tetapi juga oleh perjuangan Rakyat Indonesia sendiri, misalnya perjuangan untuk membebaskan Irian Barat di masa lalu dan sekarang perjuangan mengganyang “Malaysia” dengan melatih barisan-barisan sukarelawan. Rakyat Indonesia belum melepaskan senjata dari tangannya, malahan masih memegangnya dengan kuat-kuat.
Perjuangan Rakyat AAA sekarang ini benar-benar telah menggoncangkan dan mengobrak-abrik imperialisme yang dikepalai oleh imperialisme AS. Oleh karena itu, kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme, bukan hanya merupakan kontradiksi pokok di dunia sekarang, tetapi adalah kontradiksi terpokok, yang memimpin dan menentukan keadaan dan perkembangan dunia dewasa ini. Jadi, Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah daerah kontradiksi terpokok dunia. Inilah dasar teorinya dari apa yang sering kita nyatakan bahwa Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah daerah poros NEFO.
Karena itu adalah kewajiban kaum revolusioner di seluruh dunia sekarang untuk menyokong perjuangan Rakyat AAA untuk memenangkan revolusi-revolusi di negeri-negeri lain dan revolusi dunia.
Dengan menyatakan bahwa kontradiksi yang terpokok dewasa ini adalah kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme, saya tidak menyangkal kemungkinan terjadinya mutasi-mutasi. Karena memang baik kontradiksi dasar maupun kontradiksi pokok, demikian pula kontradiksi yang terpokok itu bisa satu sama lain berganti-ganti, mengalami mutasi-mutasi. Misalnya bila terjadi perang di antara negeri-negeri imperialis seperti halnya perang dunia ke-I dan ke-II, maka berarti pada ketika itu kontradiksi antara imperialisme dengan imperialisme adalah yang terpokok. Demikian pula kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme bisa memuncak hingga menimbulkan peperangan, dan jika itu terjadi maka kontradiksi yang terpokok adalah antara Sosialisme dan imperialisme.
Dalam hubungan dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang dewasa ini terdapat di kalangan Gerakan Komunis Internasional, dapat saja diterangkan bahwa salah satu masalah yang dipersoalkan dalam Gerakan Komunis Internasional adalah dalam menetapkan yang manakah kontradiksi terpokok di dunia dewasa ini. PKI dan Partai-Partai Komunis di Asia pada umumnya berpendirian bahwa kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme itulah yang merupakan kontradiksi terpokok. Partai-Partai Komunis di luar Asia juga ada yang sependapat dengan Partai-Partai Komunis di Asia.
Tetapi sebagian lagi dari Partai-Partai Komunis berpendapat bahwa kontradiksi yang terpokok adalah antara Sosialisme dengan imperialisme. Dengan demikian semua kontradiksi lainnya harus disubordinasikan kepada kepentingan penyelesaian kontradiksi ini. Karena penyelesaian kontradiksi ini diusahakan terutama lewat kompetisi di bidang ekonomi, maka, demi lancarnya pembangunan ekonomi di negeri-negeri Sosialis, di atas segala-galanya perdamaian harus dipertahankan, di atas segala-galanya harus “koeksistensi secara damai”. Kalau kita dalami lebih jauh analisis demikian itu, maka ini berarti bahwa nasion-nasion tertindas harus membatasi diri dalam mengganyang imperialisme dan kolonialisme, perjuangan Rakyat-Rakyat melawan imperialisme dan kolonialisme harus tunduk kepada kepentingan pembangunan Sosialisme di beberapa negeri Sosialis, tunduk kepada politik “kompetisi di bidang ekonomi” dan politik “koeksistensi secara damai”.
Ada lagi Partai Komunis yang berpendapat bahwa kontradiksi terpokok adalah antara proletariat dengan borjuasi di negeri-negeri kapitalis, karena katanya, proletariat di negeri-negeri kapitalislah yang langsung memukul imperialisme. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya saja, perkembangan kapitalis monopoli di Jerman Barat jauh lebih menonjol jika dibandingkan dengan perkembangan gerakan buruh di negeri itu. Gerakan buruh di Italia dan Perancis memang penting artinya, tetapi belum memberikan pukulan yang mematikan kepada imperialisme. Gerakan buruh di negeri-negeri Eropa Barat dan di Amerika Utara pada umumnya sedang dihinggapi penyakit-penyakit reformisme dan revisionisme. Gerakan demikian itu tidak merupakan gerakan revolusioner yang tujuan pokoknya menjebol imperialisme dan membangun Sosialisme. Kita akan sangat berterima kasih kepada kaum buruh di negeri-negeri kapitalis, seandainya benar-benar pukulan-pukulan yang mereka berikan sampai bisa menggoyangkan pilar-pilar imperialisme di negerinya, karena bila demikan pasti akan sangat mempermudah perjuangan kita di AAA. Tapi sekarang kenyataannya tidak demikian.
Pilar-pilar imperialisme sedang digoyangkan oleh Rakyat-Rakyat AAA. Nanti akan datang masanya kaum buruh di negeri-negeri kapitalis menumbangkan pilar-pilar itu. Oleh karena itu, kaum buruh di negeri-negeri kapitalis harus solider dengan perjuangan Rakyat AAA dalam menggoyangkan pilar-pilar yang nanti akan ditumbangkannya itu.
Jadi, kenyataannya sekarang ialah bahwa kontradiksi atau konfrontasi yang terhebat terdapat di daerah AAA, yaitu kontradiksi antara nasion-nasion tertindas melawan imperialisme. Pukulan-pukulan terhebat terhadap alamat imperialisme dilancarkan oleh Rakyat-Rakyat AAA. Jadi, kalau saya mengatakan kontradiksi terpokok itu ialah antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme, ini bukanlah karena pertimbangan-pertimbangan yang mengandung unsur rasialisme atau regionalisme, tetapi karena memang demikianlah kenyataannya. Juga tidak berarti bahwa kita mengisolasi diri. Dan akan keliru sekali bila kita tidak memperhitungkan kontradiksi-kontradiksi lainnya, karena semua kontradiksi itu saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain, saling-hubungan satu sama lain sesuai dengan hukum dialektika. Hal ini dapat dilihat dengan terang, misalnya ketika kontradiksi di kalangan imperialis memuncak hingga pecah Perang Dunia I, maka imperialisme secara keseluruhan menjadi lemah. Keadaan ini mendorong maju perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia umumnya, sedangkan proletariat di Rusia berhasil menggulingkan pemerintah Tsar dan kemudian menggulingkan pemerintah borjuis serta melahirkan negara Sosialis pertama di dunia. Oleh karenanya, kita sangat mementingkan solidaritas NEFO.
B. AAA POROS NEFO
Asia, Afrika, dan Amerika Latin selama berabad-abad merupakan wilayah-wilayah mahaluas tempat kaum imperialis menjalankan penghisapan biadab, tempat merampok kekayaan-kekayaan alam yang melimpah ruah, tempat memeras keringat tenaga-tenaga kerja setempat habis-habisan. Rakyat yang berdiam di benua-benua ini hidup miskin dan sengsara. Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa kaum imperialis berusaha dengan sekuat tenaga untuk tetap bercokol di ketiga benua ini demi kelangsungan hidup mereka yang ingin terus mendominasi dunia dan yang ingin supaya Rakyat-Rakyat di seluruh dunia tunduk dan mengabdi pada kepentingan-kepentingan jahat mereka. Tetapi Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin bukanlah “bangsa-budak” untuk selama-lamanya.
Dalam konfrontasi antara NEFO dengan OLDEFO, yaitu kekuatan-kekuatan tata tertib lama yang didasarkan pada penjajahan dan penghisapan, konfrontasi mana yang dewasa ini masih berlangsung dengan hebatnya, Rakyat AAA mengambil tempat yang paling depan. Pergolakan Rakyat di tiga benua ini mengambil bentuk dan skala yang demikian runcing dan luasnya sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa di daerah-daerah ini terdapat situasi revolusioner yang terus menanjak dan makin mematang. Pergolakan Rakyat di tiga benua ini sedemikian hebatnya sehingga krisis dan keruntuhan sistem kolonialisme makin menjadi dalam dan membikin imperialisme makin sekarat.
Di Asia, misalnya di Jepang terdapat gerakan massa Rakyat yang perkasa, yang meliputi seluruh negeri dalam melawan kaum imperialis AS dan kaum monopolis Jepang yang berdaya upaya untuk membikin Jepang sebagai negara embel-embel imperialis AS, sebagai negara di mana fasisme dan militerisme tetap terpelihara.
Rakyat Jepang bangkit berlawan dalam satu front yang luas yang mereka galang dari kekuatan-kekuatan cinta kemerdekaan dan perdamaian. Mereka menjalankan aksi-aksi yang besar melawan manipulasi-manipulasi AS beserta pemerintah reaksioner Jepang untuk menjadikan Jepang negeri pangkalan-pangkalan nuklir AS. Dengan penuh keberanian dan semangat serta daya juang yang tinggi sekali, tanpa menghiraukan tindakan-tindakan represif alat-alat negara neo-fasis Jepang yang telah kita kenal sendiri kebiadabannya, mereka mengadakan demonstrasi-demonstrasi yang patriotik untuk menuntut penarikan kembali pasukan-pasukan AS dari kepulauan Ogasawara dan Okinawa. Dengan penuh kepahlawanan mereka menentang digunakannya lapangan-lapangan terbang Jepang sebagai pangkalan pesawat-pesawat terbang pengangkut senjata-senjata nuklir AS. Mereka memprotes digunakannya pelabuhan-pelabuhan Jepang sebagai pangkalan-pangkalan kapal-kapal selam atom “Polaris” dari AS yang sekarang menjelajahi samudra-samudra dunia untuk setiap waktu siap meluncurkan roket nuklirnya guna “membinasakan” negeri-negeri Sosialis. Di samping semuanya ini, kaum buruh Jepang yang penuh militansi terus menjalankan aksi-aksi raksasa mereka melawan penindasan kapital monopoli untuk kehidupan yang layak dan taraf hidup yang baik.
Gerakan Rakyat Jepang telah merebut rasa hormat dan simpati serta setia kawan dari setiap orang yang sedikit saja mempunyai rasa kemerdekaan dan patriotisme, telah mendapat dukungan yang kuat dan luas dari segenap kekuatan kemerdekaan dan perdamaian di dunia.
Di bawah penindasan dan teror yang keras dari rezim Pak Jung Hui, itu boneka AS, Rakyat Korea Selatan juga tidak mau ketinggalan dari Rakyat-Rakyat lainnya di dunia dalam mengganyang imperialisme AS. Gerakan demokratis melawan dominasi imperialisme AS di negeri mereka dan melawan perundingan yang dilakukan oleh rezim boneka ini dengan kaum militeris Jepang mengenai “kerja sama” di bidang ekonomi, kebudayaan, dan militer makin hari makin bertambah kuat. Sampai kini ternyata bahwa perundingan-perundingan yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya itu tidak mencapai hasil, berkat perlawanan yang gigih dari Rakyat Korea Selatan dan juga Rakyat Jepang. Rakyat Korea Selatan memahami betul bahwa kembalinya kekuasaan kaum militeris Jepang ke Korea Selatan lewat persetujuan-persetujuan yang sedang dirundingkan itu akan berarti penindasan dobel bagi mereka, yaitu penindasan oleh kaum imperialis AS beserta rezim bonekanya dan penindasan oleh kaum militeris Jepang yang buas yang sangat mereka kenal sebagaimana juga kita pernah mengenalnya.
Badai perjuangan bersenjata dan revolusi telah berhembus di negeri-negeri Asia lainnya seperti di Vietnam Selatan dan Laos. Negeri kerajaan Kamboja pun bangkit melawan intervensi dan agresi AS terhadapnya. Proyek neokolonial “Malaysia” dari imperialis Inggris yang disokong dengan kuatnya oleh imperialis AS sedang hangat-hangatnya diganyang oleh Rakyat dan pemerintah Republik Indonesia. Perlawanan Rakyat-Rakyat Malaya dan Singapura bertambah lama bertambah kuat, perjuangan bersenjata di Kalimantan Utara makin berkembang. Tengku Abdulrahman, si boneka imperialis, pasti tidak akan bisa lama menari menurut irama seruling imperialis.
Di negeri-negeri lainnya di Asia seperti di Srilanka, Burma, Pakistan, Afganistan, dll, semangat kemerdekaan dan anti-imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme yang dipancarkan oleh Konferensi Bandung tetap menyala. Api Dasasila Bandung dan api Lima Prinsip Koeksistensi Damai yang militan, yang berbeda jauh seperti antara bumi dan langit dengan prinsip-prinsip koeksistensi damai yang bersemangat kapitulasi dan yang dipropagandakan oleh India, Yugoslavia, dan sebangsanya, makin lama makin membara. Api ini tidak bisa dimatikan oleh setan imperialis manapun, atau oleh tiupan revisionis manapun.
Di Afrika telah tumbuh satu kebangkitan daripada Rakyat yang tiada taranya dalam sejarah perjuangan Rakyat-Rakyat Afrika. Taufan revolusi sedang melanda Afrika, satu benua dengan penduduknya yang berjumlah 263 juta (angka 1962). Satu benua kaya raya yang menghasilkan tembaga dan timah putih masing-masing 1/5 produksi dunia, ¼ produksi dunia untuk mangaan, lebih dari separuh produksi dunia untuk emas, 80 % produksi dunia untuk kobalt, dan 98 % untuk intan. Ya, Afrika senantiasa merupakan daerah eksploitasi yang terkaya dan tak terhabiskan bagi kaum kapitalis monopoli. Tetapi Afrika sekarang sedang berontak melawan penindasan dan eksploitasi ini. Afrika sekarang bukan lagi merupakan mangsa yang empuk bagi kaum imperialis. Rakyat Afrika sekarang sedang bangkit melakukan perjuangan dengan bermacam jalan untuk merebut kemerdekaan dan demokrasi.
Taufan perjuangan Rakyat Afrika untuk kemerdekaan dan demokrasi bertepatan dengan ditemukannya deposit-deposit yang luas, deposit-deposit uranium yang dibutuhkan sekali oleh kaum penindas guna membikin bom-bom atom mereka. Perjuangan revolusioner Rakyat Afrika untuk kemerdekaan dan demokrasi timbul pada saat sedang dilaksanakan proyek-proyek baru yang luas untuk menarik kekayaan-kekayaan serta bahan-bahan strategis keluar Afrika, di saat logam-logam yang begitu penting dan vital seperti krom, tembaga, dan seng sedang dikumpulkan untuk ditimbun dalam gudang persediaan imperialis dalam jumlah yang makin besar. Perjuangan Rakyat Afrika ini muncul pada saat persaingan antar-imperialis dari abad ke-19 telah diganti dengan persaingan-persaingan baru, persaingan antara negara-negara imperialis yang lama kontra yang baru, yang datang dari seberang Atlantik.
Perjuangan Rakyat-Rakyat Afrika bukan perjuangan yang mudah, sungguhpun kubu kemerdekaan dan perdamaian serta kubu sosialis telah tumbuh makin kuat sesudah Perang Dunia II. Pertempuran-pertempuran besar sedang dilakukan dan akan makin banyak, pertempuran-pertempuran dalam mana 3 pihak merupakan pihak-pihak pesertanya, yaitu 1) Rakyat Afrika, 2) negara-negara kolonial lama dari Eropa Barat yang dikepalai oleh Inggris dan yang mempertahankan apa yang mereka bisa pertahankan, dan 3) imperialis Amerika Serikat yang muncul dalam usaha untuk merebut kekayaan-kekayaan Afrika. Gambar dari perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme ini adalah warna-warni.
Di Kongo, bekas jajahan Belgia, penerus-penerus setia dari almarhum Patrice Lumumba sedang mengangkat senjata terhadap kaum imperialis. Kongo yang telah mencapai kemerdekaan di bawah pimpinan patriotik almarhum Patrice Lumumba sekarang menjadi mangsa neo-kolonialisme Amerika Serikat. Usaha-usaha AS untuk menundukkan Kongo lewat PBB dan manipulasi-manipulasi serta intrik-intrik lainnya telah sedemikian jauh dan kurang ajarnya sehingga Tsombe, pembunuh Lumumba dan agen dari dua imperialis –Belgia dan AS— telah diangkat menjadi perdana menteri Kongo. Adakah ironi yang lebih mencolok daripada ini? Tetapi Rakyat Kongo tidak berdiam diri dan sedang meneruskan perjuangan yang telah diretas oleh Lumumba itu. Pasukan-pasukan Rakyat bersenjata di bawah pimpinan Front Pembebasan Nasional Kongo dewasa ini sudah mencapai kemenangan-kemenangan dan daerah-daerah bebas yang telah mereka rebut makin lama makin meluas. Perjuangan bersenjata inilah yang merupakan arus pokok di Kongo maupun di Afrika pada umumnya sekarang ini. Betapa Tsombe dianggap sebagai sampah masyarakat Kongo dan budak-belian modern dari kaum imperialis AS dibuktikan oleh fakta dalam bulan Oktober ini di mana dia ditolak oleh KTT nonblok di Kairo untuk menghadiri konferensi ini. Perjuangan revolusioner Rakyat Kongo makin menghebat dan simpati serta setia kawan yang diperolehnya dari dunia kemerdekaan dan kemajuan makin lama makin besar.
Lebih dari 30 buah negeri Afrika telah mencapai kemerdekaannya berkat desakan dan perjuangan Rakyat, sekalipun ukuran kemerdekaan negara-negara itu berbeda-beda. Namun demikian, Dasasila Bandung dan deklarasi-deklarasi serta resolusi-resolusi berbagai konferensi internasional daripada organisasi-organisasi Rakyat maupun pemerintah-pemerintah yang anti-imperialis dan anti-kolonial, telah merupakan pegangan yang kuat bagi Rakyat di negeri-negeri ini. Usaha untuk membangun negeri di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya tidak mereka pisahkan dari perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Perjuangan ini terus mereka lakukan sungguhpun dalam ukuran yang berbeda-beda dan dalam ukuran yang kecil sekalipun. Satu pikiran sudah mulai merasuk di kalangan mereka, yaitu bahwa imperialisme dunia, khususnya imperialisme AS, harus diganyang dan dihancurkan dengan jalan apapun kalau kemerdekaan sejati mau dicapai.
Permainan imperialis AS di Afrika sudah makin terang, permainan untuk mendesak imperialis-imperialis lainnya dan kemudian bercokol di bumi Afrika dengan baju baru, baju neo-kolonialisme. Di Kongo mereka melakukan campur tangan secara kasar sekali, yang berbentuk intervensi secara terang-terangan. Di negeri-negeri lain di Afrika mereka membantu pemerintah-pemerintah jajahan, aktif mendukung dan menstimulasi diktator-diktator kolonial untuk menindas gerakan-gerakan Rakyat yang menyebar laksana api di padang ilalang. Mereka juga aktif ikut menindas revolusi-revolusi bersenjata di Angola, Mozambik, dan negeri-negeri lain di Afrika. Tetapi adakah revolusi Rakyat yang bisa ditindas dan dicegah tumbuh dan menjalar? Tidak ada! Juga di Afrika tidak. Perjuangan bersenjata yang bagi Afrika merupakan alternatif satu-satunya untuk mencapai kemerdekaan sejati sudah menjalar di Afrika, dimulai dari Aljazair di utara sampai ke bagian selatan dari benua ini.
Api revolusi Rakyat melawan penindasan kolonial dan melawan eksploitasi neo-kolonial AS juga membakar benua Amerika Latin, yang sejak lama merupakan “hinterland”, merupakan pekarangan belakang yang aman tenteram bagi kapital monopoli AS. Revolusi Kuba tetap merupakan mercusuar bagi gerakan kemerdekaan nasional Rakyat negeri-negeri Amerika Latin. Dan mercusuar ini tetap tegak bagaikan batu karang yang tidak goyah walaupun dipukul oleh gelombang-gelombang dahsyat daripada agresi-agresi, subversi-subversi, dan sabotase-sabotase AS. Pukulan agresor AS yang satu disusul dengan pukulan yang lainnya terhadap Kuba dengan menggunakan tangan kaum kontra revolusioner Kuba. Tetapi Kuba tetap berdiri dan terus mengkonsolidasi diri. Setia kawan Rakyat sedunia terhadap Kuba makin kuat dan kebencian Rakyat sedunia terhadap kejahatan-kejahatan yang kotor sekali dan memuakkan dari kaum imperialis terhadap Kuba ini makin bertambah besar.
Jalan Kuba makin lama makin banyak ditempuh oleh gerakan Rakyat di negeri-negeri Amerika Latin lainnya. Di Venezuela, perjuangan bersenjata Rakyat mengambil dimensi-dimensi yang makin luas. Demikian juga halnya di Kolombia, Chili, Guatemala, Kosta Rika, dan lain-lainnya. Amerika Latin sudah bukan “pekarangan belakang” yang aman dan tenteram lagi bagi AS. Ya, “Aliansa Para El Progresso” (“Persekutuan untuk Kemajuan”) tetap tidak bisa membikin kaum imperialis tidur nyenyak di kursi malas dan duduk tenteram di kursi goyang di kebun-kebun mereka di Amerika Latin. Argentina pun telah mendemonstrasikan kepada kita di Indonesia bahwa “Argentine pattern”atau “pola Argentina” bukanlah contoh yang baik untuk dilaksanakan dalam menyelenggarakan suatu “usaha bersama” dengan kaum imperialis di bidang perminyakan. Minyak milik Rakyat Amerika Latim mulai membakar sekujur tubuh kaum imperialis AS.
Demikianlah perjuangan revolusioner Rakyat yang sedang berlangsung dengan gegap gempita di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dan yang menggetarkan imperialisme dunia. Perjuangan revolusioner mengganyang imperialisme AS sebagai biang keladinya imperialisme dunia ini merupakan aktivitas Rakyat sehari-hari. Dentum meriam dan desing peluru senapan dari pasukan-pasukan Rakyat yang menggempur benteng-benteng imperialis AS setiap hari terdengar di ketiga benua ini. Gelora perjuangan revolusioner ini pada dewasa ini jauh lebih besar gemanya daripada gelora gerakan buruh di negeri-negeri Eropa dan negeri-negeri metropolis lainnya. Rakyat di ketiga benua ini merupakan detasemen yang paling militan dewasa ini dalam barisan NEFO yang sedang berkonfrontasi dengan OLDEFO. Maka adalah tepat setepat-tepatnya apabila kita mengatakan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin adalah poros dari NEFO.
C. IMPERIALIS AS POROS OLDEFO
Kalau kita sudah mengetahui AAA sebagai poros NEFO, maka perlu pula kita mengetahui apa yang dihadapi oleh NEFO itu dan apa yang menjadi poros dari kekuatan-kekuatan OLDEFO itu.
Ketidakrataan perkembangan negeri-negeri kapitalis di lapangan ekonomi dan politik, yang merupakan hukum perkembangan ekonomi kapitalis itu sendiri, telah melahirkan perang dunia ke-II. Perang dunia ke-II telah mengakibatkan bahwa perkembangan yang tidak rata dari negeri-negeri kapitalis menjadi lebih mendalam lagi. Tiga negeri imperialis, yaitu Jerman, Italia, dan Jepang secara militer telah dikalahkan. Perancis menderita kerugian-kerugian besar dan Inggris menjadi sangat lemah. Kaum monopoli AS muncul sebagai pemenang yang tidak menderita kerugian-kerugian, malahan mereka bertambah kaya karena keuntungan-keuntungan luar biasa yang mereka peroleh dari perang itu dan mereka dapat menancapkan posisi mereka yang kokoh dalam dunia kapitalis. Sesudah fasisme dihancurkan maka pusat reaksi dunia dan agresi berpindah ke Amerika Serikat.
Tadi saya katakan bahwa Perang Dunia II telah menghasilkan keuntungan-keuntungan luar biasa bagi monopoli-monopoli AS. Menurut angka-angka resmi –yang tentunya lebih rendah daripada angka-angka sebenarnya— selama perang ini keuntungan-keuntungan yang diperoleh kapital monopoli AS naik dari 3.5 milyar dolar dalam tahun 1938 menjadi 17,2 milyar dolar dalam tahun 1941, 21,1 milyar dolar dalam tahun 1942, 15,1 milyar dolar dalam tahun 1943, dan 24.3 milyar dolar dalam tahun 1944.
Selama perang dan dalam tahun-tahun sesudah perang, kekuasaan ekonomi dan politik monopoli-monopoli kapitas AS dalam menindas Rakyat makin besar. Trust-trust baja, konsern-konsern kimia seperti Du Pont, maskapai-maskapai raksasa mobil seperti General Motors dan Chrysler, monopoli-monopoli listrik seperti General Electric, dan lain-lain lagi, makin meluaskan sayapnya yang sudah lebar itu. Misalnya saja, General Motors kini memiliki lebih dari 102 perusahaan raksasa di AS sendiri dan lebih dari 33 di sejumlah 20 negara asing, dengan jumlah buruh seluruhnya lebih dari ½ juta.
Besarnya investasi kapital AS di luar negeri akan saya paparkan dalam bagian selanjutnya dari Bab ini. Di AS dipusatkan bagian yang terbesar dari stok emas negeri-negeri kapitalis. AS menjadi negara piutang, tukang renten yang pokok dari negeri-negeri imperialis lainnya.
Eskpansi AS sesudah perang dimulai dengan dalih “Bantuan untuk Rehabilitasi Eropa sesudah Perang”. “Plan Marshall” yang diciptakan untuk tujuan ini mempunyai maksud untuk membelenggu negeri-negeri Eropa Barat, mencekik industri mereka, mengubah Eropa Barat menjadi “afzet gebied”, tempat AS melemparkan barang-barangnya yang tidak mendapat pasaran lagi dan mengekang kedaulatan negeri-negeri itu. AS bermaksud menggiring negeri-negeri ini di atas jalan politik agresinya dan politik militerisasi ekonominya. Plan Marshall merupakan dasar ekonominya Pakta Atlantik Utara, persekutuan militer yang dibentuk dalam tahun 1949 oleh AS dengan bantuan kalangan yang berkuasa di Inggris guna menancapkan kekuasaannya di dunia. Plan Marshall diikuti dengan program untuk “menjamin keamanan bersama” dengan mana “bantuan” AS sesungguhnya digunakan untuk kepentingan persenjataan dan mempersiapkan perang baru.
Namun, rencana-rencana finansial-oligarki AS untuk mendominasi dunia bukanlah rencana yang lancar jalannya dan bukannya tidak mendapat rintangan-rintangan yang besar. Pasaran dunia kapitalis yang makin menyempit dan persaingan yang diderita AS dan negeri-negeri Eropa Barat merupakan hal-hal yang membikin goyah rencana-rencana itu. Perjuangan untuk merebut pasaran juga bertambah sengit karena Jerman Barat dan Jepamng telah ikut serta dalam pertarungan ini, dan sekarang negeri-negeri ini ekonomis sudah kuat kembali. Maka karena menyempitnya pasaran kapitalis yang sangat tidak menguntungkan bahkan merugikan sekali monopoli-monopoli AS itu. AS mencari jalan keluar bagi usahanya untuk mendominasi dunia itu dengan menjalankan ekspansi ekonomi dan politik yang seluas-luasnya, dengan membikin negeri-negeri kapitalis lainnya tunduk sepenuhnya atau untuk sebagian padanya, dengan mengebiri kedaulatan negeri-negeri ini, dengan mendesak kedudukan negeri-negeri ini dan mengopernya sebagai negeri-negeri penjajah. Bersamaan dengan itu, kita melihat bahwa Rakyat di seluruh dunia memberikan pukulan-pukulan yang keras dan bertubi-tubi kepada AS.
Tetapi ada pula sementara orang yang berpikiran bahwa perlu kita melakukan pembeda-bedaan terhadap mereka yang berkuasa di Washington. Kata mereka, administrasi Kennedy dan yang kini diteruskan oleh Lyndon Johnson, ber-“common sense”, ber-“akal sehat”, “bisa diajak ngomong”. Lain dengan Barry Goldwater yang ultra-kanan, kata mereka. Kita bertanya, apa yang mereka maksud dengan akal sehat dan tentang bisa diajak ngomong? Akal mereka adalah akal bulus, akal penipu, akal si tukang mindring raksasa yang ingin hidup dari “hidup” orang lain, yang ingin hidup dari kematian atau kebinasaan orang lain. Siapakah kecuali administrasi Johnson yang menyebar racun, bom-bom kuman, yang membunuh puluhan ribu penduduk Vietnam Selatan yang tidak bersalah dan tidak berdosa itu? Siapakah kalau tidak administrasi Johnson yang mengagresi RDV dan yang menginstruksikan agar mengejar kapal terbang RDV sampai wilayah RRC sekalipun? Siapakah kalau tidak administrasi Johnson yang menyuruh Armada ke-VII menjelajahi Samudera Indonesia dan melanggar perairan teritorial negeri orang seenak perutnya sendiri? Siapakah kecuali administrasi Johnson yang menandatangani pernyataan bersama dengan boneka Inggris Tengku Abdulrahman dan membela “Malaysia” yang bermusuhan dengan Republik Indonesia itu? Bung Karno mengatakan ini “keterlaluan”. Baiklah, Johnson bisa ngomong tentang perdamaian. Tetapi omongan ini adalah omongan yang berbisa, omongan dengan lidah yang bercabang dua, suatu penipuan, dan yang sama sekali bertentangan dengan fakta-fakta hidup di sekeliling kita dan di manapun di dunia. Tidak ada orang yang berpikiran sehat percaya pada omongan ini. Jadi, baik yang yang ngomong maupun yang percaya pada omongan itu sama-sama tidak sehat pikirannya.
Dalam menghadapi pemilihan presiden AS yang akan dilangsungkan bulan November 1964, ya, dalam menghadapi administrasi-administrasi AS yang manapun dan pada saat apapun, selama Wallstreet yang menentukan politik Washington, janganlah kita keterlaluan dan menjadi berotak udang dengan mengatakan bahwa orang-orang semacam Kennedy-Johnson ber-“common sense” dan “cinta damai” dibandingkan dengan semacam Barry Goldwater yang ultra-kanan. Cukup bagi kita untuk tidak berilusi terhadap orang-orang yang sudah terkenal masuk golongan “kanan” yaitu golongan reaksioner atau kontra-revolusioner, seakan-akan dari orang-orang semacam itu bisa diharapkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan perdamaian dunia.
AS sekarang sebagaimana sudah saya katakan adalah pusat reaksi dan agresi dunia. AS sekarang adalah poros OLDEFO. AS sekarang secara objektif sudah merupakan musuh utama dari Rakyat-Rakyat di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan oleh seluruh tindak-tanduk, seluruh sepak-terjang, seluruh politik yang dijalankan oleh AS di segala bidang dan di dalam maupun di luar negeri. Dalam rangkaian kuliah ini kita akan memusatkan pembahasan pada politik luar negerinya.
1. EKSPOR KAPITAL AS DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLITIK LUAR NEGERI AS
Jika kita meneliti angka-angka ekspor kapital dari Amerika Serikat, maka akan kita lihat bahwa peranan AS sebagai imperialisme utama di dunia telah sangat menonjol sejak perang dunia II. Dalam tahun 1914, yaitu pada permulaan perang dunia I. Investasi-investasi langsung kapital AS di luar negeri (artinya investasi-investasi yang dilakukan dalam perusahaan-perusahaan yang langsung dikuasai oleh modal monopoli AS) berjumlah $ 2,6 milyar. Jumlah ini meningkat menjadi $ 7,0 milyar dalam tahun 1939 (Victor Perlo, Empire of High Finance, halaman 295), dan dalam tahun 1950 telah menjadi $ 12,0 milyar, artinya meningkat dengan kurang lebih 70 % dalam waktu 11 tahun (Peking Review, No. 19, 1962, halaman 9). Tetapi kecepatan meningkat bahkan lebih menjadi-jadi setelah tahun 1950, karena dalam tahun 1961 jumlah invetasi-investasi langsung kapital AS di luar negeri telah meningkat menjadi $ 35,0 milyar, artinya meningkat hampir 150 % dalam waktu 11 tahun ini (Peking Review, No. 19, 1962, halaman 9). Inilah sebab yang pokok daripada makin meningkatnya sifat agresif daripada imperialisme AS. Ini bukti senyata-nyatanya bahwa watak imperialisme AS sama sekali tidak mengalami perubahan, bahkan sebaliknya. Demikianlah kenyataannya jika orang tidak berilusi mengenai AS.
Mengapa kapital AS begitu “kerasan” di luar negeri? Sebabnya tidak lain ialah karena keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh di luar negeri jauh lebih besar daripada keuntungan-keuntungan dari kapital yang diinvestasi di dalam negeri. Investasi kapital di luar negeri bisa menghasilkan keuntungan sebesar kurang lebih 15 % setahun, artinya dalam hanya waktu 6 tahun kapital yang ditanam itu bisa sepenuhnya kembali dakam bentuk keuntungan. Ini dapat dilihat dari angka-angka keuntungan-keuntungan dari investasi-investasi langsung dalam tahun 1956. Pada waktu itu, investasi-investasi langsung AS di luar negeri berjumlah $ 19,2 milyar danb keuntungan-keuntungan tahunan dari investasi-investasi langsung tersebut berjumlah $ 3,3 milyar. Lagipula, keuntungan-keuntungan yang diperoleh kaum monopolis AS dari investasi di luar negeri menjadi makin banyak sebagai persentase keuntungan total mereka. Dalam tahun 1940, keuntungan-keuntungan dari investasi-investasi di luar negeri meliputi 9,2 % daripada seluruh keuntungan mereka (termasuk keuntungan-keuntungan dari investasi di dalam dan di luar negeri), tetapi dalam tahun 1956, keuntungan-keuntungan dari investasi luar negeri sudah menjadi 14,7 % dari seluruh keuntungan kaum monopolis Amerika Serikat (Victor Perlo, Empire of High Finance, halaman 296). Dan persentase yang diperoleh dari investasi-investasi di luar negeri masih terus meningkat.
Dan perlu kita perhatikan bahwa angka-angka yang diberikan di atas, semuanya merupakan angka-angka resmi menurut pembukuan resmi, sedangkan umum mengetahui bahwa nilai sebenarnya adalah jauh melebihi angka-angka tersebut. Majalah AS Fortune pernah mengatakan bahwa investasi-investasi langsung oleh kaum monopolis AS di luar negeri mungkin mendekati $ 50, sedangkan jika ditambah dengan investasi-investasi tidak langsung, jumlahnya akan melebihi $ 75 milyar, yaitu suatu jumlah yang kurang lebih sama dengan pendapatan nasional Inggris, Kanada, dan negeri Belanda dijadikan satu! (V. Perlo, Empire of High Finance, halaman 296).
Demikianlah gambaran yang serba singkat dan pokok-pokok saja mengenai kekayaan kaum monopolis AS di luar negeri.
Selanjutnya perlu kita perhatikan pula bahwa investasi-investasi dalam perusahaan-perusahaan minyak meliputi bagian yang besar daripada jumlah investasi-investasi langsung seluruhnya. Hampir 35 % dari seluruh investasi AS di luar negeri ditanam dalam industri minyak (UN National Planning Association: The Economy of the American People, halaman 129). Hal ini adalah penting sekali diketahui oleh kita di Indonesia. Kaum monopolis minyak AS merupakan golongan yang paling berkepentingan dalam mempertahankan kedudukan dominasi AS di benua-benua lain, dan dalam kenyataannya mereka juga memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan arah politik luar negeri AS yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan modal mereka. Seperti kita ketahui, bagian terbesar daripada modal AS yang tertanam di negeri kita justru dalam industri minyak. Karena itu, dapatlah dimengerti, bahwa Indonesia memang termasuk dalam lingkungan perhatian kaum monopolis yang paling agresif dan yang paling berkuasa di bidang politik luar negeri AS, yaitu kaum monopolis minyak.
Menurut Victor Perlo, seorang ahli ekonomi AS, kaum monopolis minyak AS menguasai lebih dari 50 % dari seluruh penghasilan tahunan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan AS di luar negeri (V. Perlo, Empire of High Finance, halaman 299). Dan bagian terbesar daripada keuntungan-keuntungan minyak ini dikuasai oleh keluarga Rockefeller. Begitu besar pengaruh perusahaan-perusahaan minyak terhadap hubungan-hubungan luar negeri AS, sehingga mereka mempunyai aparatur sendiri yang hampir menyerupai State Department AS dalam cara-cara kerjanya, di samping usaha-usaha mereka untuk langsung menguasai pula jabatan-jabatan tertinggi dalam aparatur dinas luar negeri AS. Victor Perlo mengemukakan bahwa politik luar negeri keluarga Rockefeller dan kaum monopolis minyak lainnya pada pokoknya mempunyai dua tujuan, yaitu pertama, memperoleh konsesi-konsesi baru, dan kedua menggagalkan usaha-usaha ke arah nasionalisasi (Idem, halaman 306). Dia mengemukakan pula bahwa berbagai langkah terpenting dalam politik luar negeri AS selama berpuluh-puluh tahun ini, untuk bagian terbesar, ditentukan oleh kaum monopolis minyak, seperti misalnya, penundaan pengakuan terhadap Pemerintah Soviet setelah Revoulsi Oktober, Doktrin Truman di Timur Tengah, Doktrin Eisenhower, dan perlawanan terhadap RRC serta sokongan penuh yang diberikan kepada Ciang Kai-syek.
Adalah penting untuk diperhatikan bahwa kaum monopolis minyak AS juga mempergunakan dana-dana yang besar sekali di bidang perguruan tinggi dan di bidang riset (research) mengenai negeri-negeri asing. Dapat dipastikan bahwa banyak di antara buku-buu yang ditulis oleh sarjana-sarjana AS mengenai Indonesia yang semuanya bernada bermusuhan dengan Rakyat dan revolusi kita dan yang selalu berusaha keras mencari dasar untuk mengadu domba kekuatan-kekuatan Rakyat, dikerjakan atas suruhan dan dengan biaya kaum monopolis AS ini, terutama kaum monopolis minyak.
Demikian secara singkat mengenai ekspor kapital dan politik luar negeri imperialisme AS.
2. PERANAN “BANTUAN” LUAR NEGERI AS DALAM RANGKA POLITIK AGRESI AS
“Bantuan” luar negeri merupakan alat yang amat penting bagi imperialisme AS dalam menjalankan politik luar negerinya dan dalam menjalankan usaha-usahanya untuk menguasai seluruh dunia. Dalam waktu 18 tahun sejak tahun 1948, yaitu tahun permulaan program “bantuan” AS dalam skala yang besar (dalam tahun itu, dimulailah apa yang dikenal sebagai “bantuan” Marshall), imperialisme AS telah menyediakan “bantuan” ekonomi dan militer sebanyak $ 100 milyar atau lebih dari $ 5 milyar setahun kepada negeri-negeri di seluruh dunia kapitalis (Charles Wolf, Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia).
Sudah jelas bahwa sejak semula tujuan pokok daripada “bantuan” tersebut, baik “bantuan” ekonomi maupun “bantuan” militer, ialah untuk membendung (meng-“contain”) kubu sosialis dan menguasai negeri-negeri lain dalam usaha untuk menindas gerakan kemerdekaan nasional. Kalau kita mau percaya kepada kata-kata manis yang dikeluarkan setiap hari oleh kantor USIS, maka maksud daripada “bantuan” itu ialah “kemajuan ekonomi”, “kesejahteraan sosial”, “pembangunan ekonomi”, dan macam-macam lagi tujuan yang enak didengar. Lebih baik kita pasang telinga bukan kepada USIS yang merupakan pabrik kebohongan yang ulung, tetapi mendengar apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh AS sendiri, oleh sarjana-sarjana AS yang sering membuat macam-macam analisis, biasanya dengan maksud untuk membuktikan bahwa penggunaan uang pajak AS untuk “bantuan” itu memang dapat dibenarkan dan berguna untuk “dunia bebas”.
Sudah berulang kali kaum imperialis AS mengakui dengan tak tahu malu bahwa setiap dolar yang dipergunakan untuk “bantuan” luar negeri adalah guna “membeli” security atau keamanan dalam negeri bagi AS sendiri. Ini jauh lebih besar nilainya daripada jika dolar itu digunakan secara langsung di sektor pertahanan di AS sendiri.
Pernah dikatakan oleh John Foster Dulles, misalnya, bahwa “berkat program-program bantuan ini, kita dimungkinkan untuk mengeluarkan jumlah uang yang jauh lebih sedikit bagi program-program militer kita sendiri dan guna memperoleh keamanan yang jauh lebih besar.....”.
Oleh Eisenhower pernah dikatakan dalam tahun 1959 bahwa “pengeluaran-pengeluaran kita untuk bantuan luar negeri adalah sama pentingnya bagi pertahanan nasional kita seperti pengeluaran-pengeluaran untuk tentara kita sendiri dan setiap dolar yang dipergunakan untuk itu dapat membeli lebih banyak security dalam negeri bagi kita”.
Dalam buku Charles Wolf yang berjudul Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia dikemukakan suatu daftar panjang daripada apa yang dinamakan “tujuan” atau “objectives” daripada “bantuan” luar negeri AS. Daftar ini meliputi hal-hal seperti misalnya: memperbesar tentara-tentara lokal, mempertahankan persekutuan SEATO, memperoleh pangkalan-pangkalan militer untuk tentara AS, memperkokoh “stabilitas politik”, mendorong sikap yang “bersahabat” terhadap AS, melawan tawaran-tawaran bantuan dari negeri-negeri sosialis dan memperoleh suara-suara pro-AS di PBB (Charels Wolf, Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia, halaman 254).
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan “stabilitas politik”, Wolf mengutip Eisenhower dengan panjang lebar yang antara lain mengatakan bahwa bagi berjuta-juta Rakyat di dekat Uni Soviet dan RRC, kemerdekaan adalah suatu hal yang baru dan “Pemimpin-Pemimpin moderat dari nasion-nasion ini harus memperoleh bantuan yang cukup dari luar untuk dapat memberikan harapan-harapan yang cukup meyakinkan akan tercapainya kemajuan. Kalau tidak, Rakyat-Rakyat itu akan mengubah arahnya. Elemen-elemen ekstrim akan bisa merebut kekuasaan, menghasut kebencian-kebencian yang bersifat nasionalistis dan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Dalam keadaan demikian, timbullah bahaya bahwa pemerintah-pemerintah bebas akan ditiadakan.....” (Idem, halaman 261). Dengan demikian diakui dengan tak tahu malu, bahwa “bantuan” dipakai untuk mempertahankan apa yang dinamakan “pemimpin-pemimpin moderat”. Dan siapa yang dimaksudkan dengan “pemimpin-pemimpin moderat”? Kalau kita membaca uraian-uraian sarjana-sarjana yang dibiayai oleh kaum imperialis, seperti misalnya Guy Pauker, Arnold Brackman, dan lain-lain, atau di Australia Herbert Feith, maka yang dimaksudkan dengan “pemimpin-pemimpin moderat” di Indonesia adalah tokoh-tokoh Masyumi dan PSI yang masih mereka jagoi sampai detik ini.
Oleh Wolf ditekankan juga mengenai tujuan “bantuan” untuk “membeli persahabatan, pengaruh, kemauan baik, dan kerja sama”. Tetapi dia juga mengutip Dulles yang pernah mengatakan sebagai berikut: “Saya sama sekali tidak peduli apakah bantuan kita membikin sahabat-sahabat atau tidak.....Kita melakukan program-program bantuan itu hanya karena mengabdi kepada kepentingan-kepentingan Amerika Serikat sendiri”. Demikianlah suaranya seorang yang tak berdaya menutup-nutupi lagi kenyataan bahwa makin lama imperialisme AS makin dibenci di seluruh dunia.
Demikianlah mengenai tujuan-tujuan politik daripada “bantuan” luar negeri Amerika Serikat.
Tujuan-tujuan ekonomi juga memegang peranan yang besar. Hal ini pernah dirumuskan secara singkat tapi padat dalam Amanat Presiden AS kepada Kongres AS dalam tahun 1958 di mana dikatakan tentang tujuan-tujuan ekonomi dari “bantuan” luar negeri AS, bahwa “dalam mendorong pembangunan ekonomi di dunia bebas, kita mempunyai kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomis.....Dalam tahun-tahun yang akan datang, kemajuan ekonomi di negeri-negeri yang kurang maju akan menguntungkan bagi kedua belah pihak karena akan menyediakan pasaran-pasaran yang makin luas bagi ekspor-ekspor kita, kemungkinan-kemungkinan baru untuk investasi kapital kita serta akan membantu kita untuk memperoleh bahan-bahan pokok strategis yang kita butuhkan dari luar negeri” (Idem, halaman 271).
Kata-kata ini diucapkan dalam tahun 1958. Pada akhir bulan September 1964, USIS mengumumkan bahwa perdagangan AS dengan negeri-negeri Asia telah “bertambah sehat” sejak tahun 1959. Sehat untuk siapa? Hal ini dapat kita lihat dari angka-angka yang diberikan oleh USIS, yaitu bahwa jika dalam tahun 1959 kelebihan ekspor AS ke negeri-negeri Asia (khususnya Timur Jauh) hanya berjumlah $ 9,8 juta, maka dalam tahun 1963 kelebihan ekspor AS dengan negeri-negeri ini telah meningkat menjadi $ 1.296 juta. Artinya, dalam waktu 5 tahun itu perdagangan AS dengan Asia menjadi 130 x “lebih sehat” untuk AS.
Dan bagaimana secara khusus mengenai “bantuan” AS yang diberikan kepada Indonesia? Mengenai hal itu, Charles Wolf, penulis buku itu, ternyata cukup ahli karena pernah bekerja di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dia secara tak tahu malu menjelaskan, bahwa “bantuan” AS kepada Indonesia sangat didorong oleh hasil-hasil pemilihan umum di Indonesia dalam tahun 1955 dan 1957. Penjelasan Wolf mengenai hal ini adalah sedemikian menarik sehingga saya akan mengutipnya secara lengkap:
“Mengenai Indonesia, memang terdapat alasan-alasan untuk menghubungkan kenaikan bantuan dengan perkembangan-perkembangan dalam negeri karena hal-hal tersebut telah menjadikan bantuan AS sebagai hal yang lebih ‘bernilai’ dalam melakukan usaha-usaha untuk mencapai stabilitas politik. Singkatnya, perkembangan-perkembangan dalam negeri tersebut ialah hasil-hasil pemilihan umum di Indonesia dalam tahun 1955 di mana Partai Komunis Indonesia dengan tidak diduga-duga memperoleh 20 % daripada suara-suara. Pun di Indonesia hal-hal seperti pemilihan umum dapat dianggap kurang penting dalam mempengaruhi jumlah bantuan AS, jika dibadingkan misalnya dengan hal seperti sikap yang bersahabat dan mau bekerja sama daripada Pemerintah Burhanuddin atau kenyataan bahwa Presiden Sukarno menerima baik suatu undangan untuk berkunjung ke AS. Bagaimanapun juga, pengaruh-pengaruh dari berbagai hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap ‘nilainya’ Indonesia sebagai suatu negeri penerima bantuan. Di satu pihak, bantuan dalam rangka Mutual Security Program telah diperbesar. Dan dalam bulan Maret 1956 telah disetujui untuk memberikan barang-barang pertanian (SAC) sejumlah $ 97,8 juta. Tidak pernah sebelumnya itu kepada suatu negeri Asia diberikan barang-barang SAC sebanyak itu” (Idem,halaman 221).
Dan bagaimana tentang hasil-hasil pemilihan umum di Indonesia dalam tahun 1957? Dalam hal inipun, Wolf memberikan komentarnya yang sungguh menarik. Dia berkata:
“Dalam pemilihan umum pemerintahan daerah tahun 1957, PKI memperoleh jumlah suara yang terbesar di Jawa. Harus diakui dan disesalkan, bahwa cara-cara yang tersedia bagi AS untuk dapat mempengaruhi perkembangan-perkembangan semacam itu adalah terbatas. Yang paling menentukan dalam keadaan yang demikian terletak dalam hal pimpinan internal, sumber-sumber atau dana-dana yang tersedia dan ‘good fortune’ atau hal-hal yang kebetulan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, sudah dapat dipastikan, bahwa salah satu senjata politik luar negeri AS yang paling ampuh ialah bantuan luar negeri, terutama segi ‘ekonomi’ daripada bantuan luar negeri” (Idem, halaman 415).
Cukup kiranya dengan bahan-bahan di atas, untuk melihat betapa “bantuan” luar negeri AS dipergunakan sebagai senjata bagi imperialisme AS untuk membendung kemajuan Rakyat-Rakyat di seluruh dunia dan untuk menguasai seluruh dunia. “Bantuan” AS adalah campur tangan langsung dalam urusan internal negeri lain.
3. MILITERISASI EKONOMI NEGERI-NEGERI IMPERIALIS, TERUTAMA SEKALI AS
Semenjak Uni Soviet dan negeri-negeri sosialis lainnya lahir, dengan ekonomi sosialis yang langsung berlawanan dengan ekonomi kapitalis, maka pasaran dunia yang sebelumnya merupakan pasaran dunia yang sifatnya tunggal, yaitu pasaran tempat menjual barang-barang hasil-hasil industri kapitalis semata-mata, menjadi terpecah dua. Pasaran dunia tidak merupakan pasaran dunia yang tunggal lagi. Dalam dunia kemudian timbul dua pasaran, pasaran kapitalis dan pasaran sosialis. Kenyataan lainnya ialah bahwa daerah-daerah tempat sumber bahan-bahan mentah menjadi lebih sempit bagi negeri-negeri imperialis.
Menyempitnya daerah-daerah sumber bahan mentah mengakibatkan makin hebatnya perebutan di kalangan negeri-negeri imperialis untuk mendapat daerah-daerah atau negeri-negeri tempat menjual barang-barang industri mereka, daerah-daerah atau negeri-negeri untuk mendapat bahan-bahan mentah, dan daerah atau negeri-negeri tempat menginvestasi kapital mereka. Kaum imperialis, terutama sekali imperialis AS, berdaya upaya untuk mengkompensasi kerugian yang mereka derita karena menyempitnya daerah bahan-bahan mentah dan terpecahnya pasaran tunggal ini, dengan melakukan ekspansi yang lebih luas atas kerugian saingan-saingan mereka (negeri-negeri imperialis lainnya), dengan menjalankan agresi-agresi, persenjataan yang gila-gilaan dan dengan memiliterisasi ekonomi.
Jadi, dalam keadaan di mana pasaran tunggal menjadi terpecah dua dan menyempitnya daerah sumber-sumber bahan mentah, kaum kapitalis monopoli menempuh jalan “militerisasi” ekonomi negeri-negeri mereka. Jalan ini mereka tempuh tidak lain untuk bisa memperbesar keuntungan-keuntungan mereka. Tetapi militerisasi ekonomi ini tidak bisa tidak mengakibatkan pertentangan-pertentangan atau kontradiksi-kontradiksi yang lebih mendalam dan lebih runcing di kalangan mereka sendiri.
Esensi ekonomi daripada militerisasi ini ialah bahwa bagian yang senantiasa makin besar dan barang-barang jadi dan bahan-bahan mentah digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif, yaitu dalam bentuk barang-barang yang mempunyai nilai-nilai strategis (militer). Produksi persenjataan ini terus diperluas oleh kaum kapitalis monopoli. Perluasan produksi persenjataan ini mereka tempuh melalui penurunan upah-upah buruh, penindasan-penindasan yang lebih keras terhadap kaum tani, peningkatan pajak-pajak, dan perampokan yang lebih intensif terhadap Rakyat negeri-negeri jajahan dan negeri-negeri yang tergantung. Semua ini membikin daya beli Rakyat menjadi lebih lemah mengurangi produksi barang-barang industri dan pertanian, serta sangat mengurangi produksi baranh-barang untuk kebutuhan sipil. Karena itulah, maka militerisasi ekonomi negeri-negeri kapitalis lebih memperbesar disproporsi atau ketidakseimbangan antara kemungkinan-kemungkinan produksi (productie mogelijkheden) dengan daya beli yang makin menurun dari penduduk. Dan hal ini tidak boleh tidak mengakibatkan krisis-krisis ekonomi negeri-negeri kapitalis itu.
Sesudah Perang Dunia II, industri AS tanpa melalui fase kenaikan, pada akhir 1948 mengalami krisis ekonomi, dan krisis ini makin keras selama seluruh tahun 1949. Tanda-tanda krisis ekonomi dalam tahun 1949 juga dapat dilihat di negeri-negeri Eropa Barat.
Perluasan produksi persenjataan di AS dan negeri-negeri blok Atlantik lainnya yang sangat menonjol dalam pertengahan tahun 1950 sesudah perang agresi imperialis terhadap Korea dilancarkan, memungkinkan timbulnya kenaikan produksi industri. Hal ini hanya dicapai atas kerugian perkembangan ekonomi negeri-negeri kapitalis itu sendiri. Begitulah maka dalam pertengahan kedua tahun 1953 timbul krisis ekonomi lagi di AS yang mengakibatkan berkurangnya produksi industri.
Militerisasi ekonomi membawa keuntungan-keuntungan yang luar biasa bagi kaum kapitalis monopoli. Dan militerisasi ekonomi dengan sendirinya merupakan stimulator dan katalisator dari agresi-agresi imperialis yang terutama sekali dijalankan oleh kaum kapitalis monopoli AS.
4. MUSUH PERTAMA RAKYAT SEDUNIA
Betapa busuk dan jahatnya politik imperialis AS menjadi jelas bagi kita. Kesimpulan wajar yang dapat kita tarik daripadanya ialah bahwa sebagai biang keladi imperialisme dunia, AS sekaligus telah menjadi musuh Rakyat-Rakyat sedunia. Lihatlah sasaran revolusi-revolusi Rakyat dan gerakan-gerakan revolusioner Rakyat seluruh dunia, yang pada umumnya ialah imperialisme AS. Juga bagi revolusi Indonesia, imperialisme AS telah menjadi musuh nomor satu. Imperialisme Inggris tidak akan sekurang ajar sekarang dalam membela proyek “Malaysia”-nya jika seandainya di Asia tidak ada kekuatan AS yang berupa Armada ke-VII dan pangkalan-pangkalan militer.
Dari tindak tanduknya di mana saja di dunia, jelas pula terlihat bahwa agresivitasnya tidak menjadi berkurang, sebaliknya AS bertindak makin kurang ajar dan makin nekad. Dalam seluruh garis dan jalan politiknya sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa AS menunjukkan keinginan damai, siapapun atau presiden manapun yang memegang tampuk kekuasaan negara AS.
Itulah sebabnya mengapa ia makin lama makin diganyang oleh Rakyat sedunia, dan mengapa barisan Rakyat yang mengganyangnya makin lama makin besar, makin luas, dan makin kuat sebagaimana dibuktikan oleh kejadian-kejadian internasional sekarang ini.
5. RUNTUHNYA SISTEM KOLONIAL DARIPADA IMPERIALISME
Baik Presiden Sukarno, maupun negarawan-negawaran dan pemimpin-pemimpin Rakyat lainnya, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain senantiasa tegas menandaskan bahwa imperialisme sedang menuju dengan cepat ke liang kuburnya, bahwa imperialisme sedang sekarat. Sebagai tingkat atau stadium terakhir dari kapitalisme, imperialisme tidak lain daripada kapitalisme yang sedang sekarat, “moribund capitalism”, sedang menuju kematiannya.
Ada sementara orang yang melebih-lebihkan kekuatan imperialisme yang sudah sekarat ini dengan menekankan bahwa imperialisme masih kuat dan kuasa, masih hebat dan luar biasa kekuatannya. Lihatlah AS yang “bergigi” nuklir, lihatlah Inggris yang masih kokoh, demikian kata mereka. Pandangan mereka dibikin silau oleh persenjataan dan kekuatan militer yang dimiliki AS sekarang ini, oleh senjata-senjata nuklir dan roket-roketnya. Mereka tidak mau mengerti bahwa Rakyat yang menentukan jalannya sejarah dan bahwa nasib sesuatu negeri ataupun dunia bukan pertama-tama ditentukan oleh senjata. Ini dengan gamblang bisa ditarik kesimpulan dari pergolakan-pergolakan yang timbul di dunia, dari revolusi-revolusi yang sukses, dari Revolusi Oktober di Rusia Tsar sampai ke Revolusi Tiongkok, Indonesia, Vietnam, dan Kuba. Sungguh kasihan mereka yang berpandangan demikian yang hakikatnya melihat dunia serba gelap tanpa perspektif yang bersinar cemerlang, yang mau hidup dengan menyesuaikan diri pada keinginan-keinginan imperialis yang rakus, tamak, dan jahat itu.
Pandangan “serba senjata” ini membunuh energi Rakyat yang selalu ingin bangkit sekalipun kurang baik persenjataannya melawan imperialisme yang komplit persenjataannya.
Di pihak lain, ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dewasa ini imperialisme sudah mati. Menurut mereka, masalah melawan imperialisme dan kolonialisme bukan lagi merupakan masalah bagi bangsa-bangsa di dunia dewasa ini, karena kemerdekaan sudah dimiliki oleh bangsa-bangsa di dunia. Masalah dunia sekarang adalah masalah memelihara perdamaian, perdamaian, dan sekali lagi perdamaian, masalah mempertinggi kultur umat manusia, masalah kerja sama di bidang ekonomi, dan sebagainya, dan sebagainya. Pandangan ini dinyatakan misalnya oleh almarhum Nehru dalam Konferensi Nonblok ke-I di Beograd dan dilanjutkan oleh pihak India, Yugoslavia, dan lain-lain, dalam Konferensi Nonblok ke-II di Kairo baru-baru ini. Dan pandangan ini masih dianut oleh sementara orang. Tapi anehnya, bersamaan dengan mengatakan “imperialisme sudah mati”, mereka sujud dan berkapitulasi di hadapan imperialis.
Kedua-dua pandangan ini adalah ekstrim dan karenanya tentu keliru. Kedua pandangan itu sama-sama melemahkan, mengebiri, atau mematikan perjuangan melawan imperialisme untuk kemerdekaan dan untuk membangun dunia baru yang adil dan makmur. Yang benar ialah bahwa imperialisme belum mati, tetapi juga ia tidak lagi merupakan kekuatan yang besar, perjkasa dan hebat yang bisa memaksakan kemauannya dengan sesuka hatinya.
Perkembangan kapitalisme mendapat pukulan yang hebat dengan timbulnya kubu sosialis yang diametral berlawanan dengan kubu kapitalis setelah lahirnya Uni Soviet dalam tahun 1917 dan negeri-negeri sosialis lainnya sesudah Perang Dunia II. Perkembangan ini makin bertambah berat bagi kapitalisme dengan krisis yang diderita oleh sistem kolonialnya.
Negeri-negeri imperialis menimpakan beban-beban serta akibat-akibat peperangan-peperangan pada pundak Rakyat negeri-negeri jajahan dan negeri-negeri tergantung. Tingkat hidup Rakyat-Rakyat ini karenanya menjadi menurun secara katastrofal. Semua ini lebih memperhebat kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme. Dan kontradiksi-kontadiksi ini mengambil bentuk yang aneka ragam dan runcing serta dahsyat sebagaimana kita lihat di AAA.
Kaum monopolis AS sebagaimana sudah saya uraikan tadi, dengan dalih memberikan “bantuan” kepada negeri-negeri yang kurang maju, mendesak masuk secara sistematis ke negeri-negeri jajahn dan ke daerah-daerah pengaruh negeri-negeri Eropa Barat. Dengan demikian maka perampokan-perampokan terhadap negeri-negeri ini yang dilakukan oleh imperialisme AS bertambah intensif dan desakan-desakan AS ini menimbulkan juga kontradiksi-kontradiksi yang runcing antara imperialisme AS dengan imperialisme-imperialisme lainnya. Kita mengenal kontradiksi-kontradiksi yang makin menjadi-jadi terutama antara AS dengan Perancis dan antara Inggris dengan Perancis di berbagai persekutuan-persekutuan ekonomi maupun aliansi-aliansi militer.
Hal ini semua membawa krisis yang makin mendalam dan keruntuhan secara total dari sistem kolonial imperialisme.
Dalam Bab I sudah dijelaskan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin merupakan daerah poros NEFO. Dalam uraian itu dijelaskan pula perjuangan Rakyat-Rakyat di daerah poros itu yang menonjol dalam melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme itu. Perjuangan-perjuangan yang menonjol ini dapat kita katakan sebagai titik-titik pusat. Begitulah maka titik pusat perjuangan di Amerika Latin adalah perjuangan Rakyat Kuba dan Venezuela. Untuk Afrika, titik pusatnya ialah perjuangan Rakyat Kongo dan Angola. Untuk Asia, maka perjuangan Rakyat-Rakyat Asia Tenggaralah yang menjadi titik pusat. Seluruh Asia Tenggara merupakan titik pusat di daerah kontradiksi terpokok. Presiden Sukarno dalam Tavip telah menegaskan bahwa “Asia Tenggara sekarang ini sebenar-benarnya sedang menjadi pusat telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia” (Tavip, halaman 31).
Di Asia Tenggara bercokol banyak imperialis, dari yang paling besar yaitu imperialis AS, Inggris, dan Perancis, sampai yang paling kecil seperti Portugis, Swiss, dan lain-lain. Betapa tidak! Arti penting yang besar dari Asia Tenggara dari sudut ekonomi dapat dilihat dari barang-barang yang dihasilkannya seperti karet, teh, gula, tembakau, beras, kopra, wolfram, nikel, timah putih, timah hitam, mangaan, bauksit, minyak, dan lain-lain. Asia Tenggara mempunyai kedudukan strategis yang penting. Ia merupakan jembatan antara India dan Tiongkok. Ia menghubungkan dua samudera besar, Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik yang merupakan jalan perniagaan laut yang pokok dengan lalu lintas pelayaran niaga yang ramai antara Eropa dengan Timur Jauh dan Oseania.
Kontradiksi-kontradiksi dunia di daerah ini terdapat dalam bentuk-bentuknya yang paling tajam. Di daerah ini terdapat semua kontradiksi dasar, yaitu: antara Sosialisme (RDV dan RRC) dengan imperialisme dan antara proletariat dengan borjuasi. Di daerah ini terdapat kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme karena adanya nasion-nasion yang baru merdeka dan nasion-nasion terjajah serta tergantung yang melawan imperialisme sebagaimana halnya Rakyat-Rakyat Malaya dan Kalimantan Utara serta Rakyat Indonesia mengganyang “Malaysia”, Rakyat Vietnam Selatan melawan imperialisme AS, dan lain-lain. Juga di daerah ini terdapat kontradiksi antara kaum imperialis AS dengan Perancis, dengan Inggris, dengan Belanda, dan lain-lain. Jadi, keempat-empat kontradiksi dasar terdapat di Asia Tenggara ini sehingga dapatlah dikatakan bahwa Asia Tenggara adalah miniaturnya dunia, dunia dalam bentuk kecilnya. Penyelesaian kontradiksi-kontradiksi ini berarti memotong garis hidup imperalisme dunia. Inilah sebabnya mengapa saya mengatakan bahwa Asia Tenggara adalah fokus dari fokusnya AAA. Inilah sebabnya mengapa saya menyetujui sepenhnya pendapat Bung Karno, bahwa Asia Tenggara adalah pusat telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia. Marilah kita tinjau perjuangan Rakyat di Asia Tenggara ini dalam mengganyang imperialisme dunia, khususnya imperialisme AS.
Pertama-tama, marilah kita pusatkan perhatian pada Indocina, khususnya Vietnam dan lebih khusus lagi pada Vietnam Selatan. Di Vietnam Selatan sedang berlangsung satu epos yang mengagumkan yang merebut rasa hormat dan simpati serta kebanggaan dari setiap patriot dan pejuang kemerdekaan negeri manapun juga. Di Vietnam Selatan, sebagaimana di negeri-negeri Indocina pada umumnya, imperialisme Perancis yang tadinya berkuasa sudah dipaksa mundur dan diusir pergi. Tetapi imperialisme AS yang menginjak-injak Perjanjian Jenewa berhasil bercokol di Vietnam Selatan melalui agresi-agresi dan intervensi-intervensinya yang dikutuk oleh umat manusia progresif di seluruh dunia. Pengalaman Vietnam Selatan ini merupakan pelajaran bagi Rakyat-Rakyat sedunia. Bagi Rakyat Indonesia, pengalaman-pengalaman ini berarti bahwa anti-imperialisme Belanda dan kemudian anti-imperialisme Inggris saja tidak cukup, tetapi juga harus anti-imperialisme AS karena imperialisme AS adalah biang keladi imperialisme dunia. Tidak berbuat demikian berarti tidak cukup waspada, dan ini berarti akan jatuh ke dalam kekuasaan imperialisme AS.
Di Vietnam Selatan, imperialis AS sedang menjalankan “perang khusus” dalam rangka mewujudkan sistem neo-kolonialismenya. “Perang khusus” ini dilancarkan melalui suatu boneka yang dibenci Rakyat. Rezim anti-Rakyat ini membangun tentara boneka yang dipersenjatai sepenuhnya oleh AS. Tentara boneka ini dikuasai oleh AS lewat opsir-opsirnya sendiri dengan memakai berbagai kedok.
Dalam waktu 10 tahun, sejak tahun 1954 sampai 1963, kaum imperialis AS telah mengeluarkan uang sejumlah 4 milyar dolar untuk membiayai perang kotornya di Vietnam Selatan. Pada dewasa ini, mereka mengeluarkan $ 2 juta sehari. Mereka telah membangun 111 lapangan terbang militer dan 11 pelabuhan militer. Tentara boneka Vietnam Selatan terdiri dari 600.000 orang, sedangkan apa yang dinamakan “penasihat” AS yang langsung memimpin tentara boneka ini berjumlah 30.000 orang.
Menurut perkiraan kaum imperialis AS, mereka baru dapat menumpas gerakan Rakyat di Vietnam Selatan, jika jumlah tentara boneka mereka melebihi pasukan-pasukan gerilya Rakyat dengan perbandingan 20 lawan 1. Padahal menurut Front Nasional Pembeasan Vietnam Selatan dewasa ini perbandingan itu “baru” mencapai 4 lawan 1. Kaum imperialis AS sekarang sudah kewalahan. Dengan demikian, AS harus mengakui bahwa seorang gerilya yang bersenjata sederhana adalah sama kuatnya dengan 20 orang tentara bayaran yang diperlengkapi dengan senjata yang paling modern. Dan ini sekaligus berarti membuka kesempatan membikin keuntungan-keuntungan raksasa bagi industrialis-industrialis senjata AS.
Sadar akan kekuatan yang luar biasa dari pasukan-pasukan gerilya karena erat bersatu padu dengan Rakyat, maka kaum imperialis AS berusaha untuk memisahkan Rakyat dari gerilya-gerilya ini dengan memasukkan seluruh penduduk desa ke dalam apa yang dinamakan “desa-desa strategis” yang dikelilingi dengan pagar kawat berduri yang tinggi, yang dijaga keras dan yang tidak lain merupakan kamp-kamp konsentrasi. Tapi apa hendak dikata! Di dalam kamp-kamp inipun timbul perlawanan-perlawanan hebat dan siasat inipun tidak memberikan manfaat apa-apa bagi mereka. Menghadapi keadaan yang demikian, maka AS melancarkan perang kimia. Dalam waktu 2 ½ tahun mereka telah 200 kali menyebarkan bahan-bahan kimia yang beracun yang telah membunuh atau melukai 20.000 orang, mematikan beribu-ribu ternak dan membinasakan tanaman bahan makanan seperti padi dan sebagainya seluas 300.000 ha.
Perang Vietnam Selatan direncanakan dan dilancarkan oleh orang-orang seperti Presiden Kennedy, Presiden Johnson, Jenderal Maxwell Taylor yang sekarang menjadi “duta besar” AS di Saigon dan Mc. Namara, Menteri Pertahanan AS. Dalam pertengahan tahun 1961, Lyndon Johnson yang pada waktu itu adalah Wakil Presiden AS datang ke Saigon atas perintah Kennedy untuk merencanakan usaha-usaha menumpas gerakan Rakyat di Vietnam Selatan. Yang menjadi pusat perhatiannya ialah usaha memperkuat Komando Militer AS, memperluas tentara boneka Vietnam Selatan, dan mengirimkan lebih banyak “penasihat” AS dan perlengkapan militer. Juga disusun apa yang dinamakan rencana “Staley-Taylor” untuk menumpas perlawanan Rakyat dalam waktu 18 bulan. Kita semua mengetahui hasil yang dicapai oleh plan 18 bulan ini. Yang ditumpas bukan gerakan Rakyat, melainkan AS beserta tentara-tentara dan rezim bonekanya. Gerilya Rakyat di bawah pimpinan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan telah membebaskan lebih dari 75 % wilayah Vietnam Selatan. Kaum imperialis tinggal menunggu saatnya untuk ditendang keluar Vietnam Selatan. Rezim boneka Vietnam Selatan juga sedang mengalami krisis kekuasaan yang bersifat total.
Tavip menegaskan bahwa “Di Vietnam Selatan nasib yang tempo hari dialami oleh Jenderal Lattre de Tassigny kini rupanya sedang menimpa jenderal-jenderal lain, jenderal-jenderal dari negara lain tetapi yang nasibnya kiranya setali tiga uang” (halaman 34). Selanjutnya, Tavip juga menyatakan “Barangkali kaum imperialis boleh menghibur dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa setidak-tidaknya mereka dikalahkan oleh bukan sembarang gerilya, tetapi oleh gerilyawan-gerilyawan yang benar-benar jempolannya gerilyawan” (halaman 35).
Menghadapi kegagalan di Vietnam Selatan, kaum imperialis telah mengadakan konferensi tokoh-tokoh militer mereka di Honolulu beberapa bulan yang lampau di mana direncanakan untuk memperluas peperangan ke Vietnam Utara, ke RDV. Provokasi Teluk Tonkin yang sudah dua kali diadakan itu merupakan permulaan dari rencana jahat tersebut di atas. Tetapi provokasi-provokasi inipun mengalami kegagalan total berkat kewaspadaan dan kesiapsiagaan serta kepahlawanan Rakyat dan Pemerintah RDV yang telah memberikan pukulan-pukulan balasan yang jitu dan setimpal. Provokasi Tonkin mengakibatkan bahwa imperialis AS sendiri makin terekspos, makin terbuka kedoknya serta makin terisolasi kedudukannya. Belum pernah imperialis AS begitu tersudutkan seperti yang diakibatkan oleh provokasi-provokasi agresifnya terhadap Republik Demokrasi Vietnam. Bung Karno mengatakan dalam Tavip tentang agresi AS ini: “..... serangan Amerika atas Vietnam Utara sekarang inipun, kami kutuk dengan sekeras-kerasnya” (halaman 33). Selanjutnya Bung Karno berkata: “Rakyat Vietnam sudah barang tentu akan melawan mati-matian, sebagaimana mereka dulu melawan mati-matian kepada serangan-serangan imperialisme Perancis” (halaman 35).
Di samping memerangi Rakyat Vietnam Selatan, kaum imperialis AS juga mengaduk-aduk di Laos dengan maksud menyabot pelaksanaan Perjanjian Jenewa tentang Laos dan berusaha menunpas gerakan demokratis dari Rakyat Laos. Seperti negeri-negeri Indocina lainnya, Laos mempunyai arti penting yang besar bagi imperialis AS dalam usahanya untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan kolonialnya di Asia Tenggara. Untuk menyabot pelaksanaan Perjanjian Jenewa tersebut, kaum imperialis AS telah menimbulkan kembali perang dalam negeri dan berusaha memperluasnya ke seluruh negeri. Dengan kapal-kapal terbang, kaum imperialis secara terang-terangan membomi secara membabi buta wilayah-wilayah Laos, seperti Xien Khouang dan Dataran Tempayan serta wilayah-wilayah Laos lainnya di mana Neo Lao Haksat mempunyai pengaruh yang besar. Kaum imperialis AS menimbulkan provokasi-provokasi pertempuran bersenjata antara pasukan-pasukan dari ketiga golongan yang ada di Laos, yaitu golongan kiri, golongan netralis, dan golongan kanan, yang masing-masing diwakili oleh Pangeran Souphanouvong, Pangeran Souphanavouma dan Pangeran Boum Oum. Tetapi pasukan-pasukan golongan netralis sejati tetap tidak terprovokasi dan melawan agresi yang dilancarkan oleh kaum imperialis AS. Kaum imperialis AS berdaya upaya untuk melumpuhkan pemerintah koalisi nasional dari ketiga golongan itu dengan menghasut Boum Oum agar melakukan obstruksi-obstruksi yang sebesar-besarnya terutama sekali terhadap golongan kiri. Di dalam usaha yang keji ini, mereka berhasil mndorong wakil golongan netral, Pangeran Souphanavouma, untuk berkhianat terhadap golongan kiri dan menjadikannya sebagai wakil dari golongan netralis yang munafik. Paling akhir, kaum imperialis AS berusaha sekeras-kerasnya untuk mentorpedo dan mengandaskan pertemuan antara 3 pangeran yang diadakan di Paris.
Tetapi di Laos pun imperialis AS tidak akan berhasil. Rakyat Laos berkesadaran politik yang tinggi dan bersemangat anti-imperialisme dan mereka cukup kuat untuk melancarkan gempuran-gempuran mereka terhadap imperialisme AS. Gelombang pasang revolusi juga mengalun di Laos untuk menghanyutkan tiang-tiang bangunan neo-kolonialisme AS yang hendak ditegakkannya di bumi Laos.
Perjuangan yang sama isinya dilakukan oleh Rakyat dan Pemerintah Kamboja terhadap kaum imperialis AS. Pangeran Norodom Sihanouk yang mengepalai pemerintah Kerajaan Kamboja, dengan teguh dan penuh keberanian melawan segala intrik, subversi, dam intervensi bahkan agresi bersenjata AS terhadap Kamboja. Kejauhan pandangan Sihanouk, realismenya yang besar dalam meninjau dan menilai keadaan sekeliling negerinya serta dalam mengambil langkah-langkah yang patriotik, membikin Kamboja tergolong sebagai salah satu negeri yang terhormat dalam barisan NEFO. Kata-kata “gentar” dan “takut” sungguh tidak ada dalam kamus Kamboja yang berjuang melawan setan dunia, imperialisme AS ini. Perjuangan Rakyat dan Pemerintah Kamboja ini tidak bisa lain kecuali memberi sumbangan dan kekuatan yang berharga pada perjuangan Rakyat-Rakyat sedunia untuk menumbangkan kubu imperialisme AS sampai ke dasar-dasarnya.
Demikianlah, perjuangan Rakyat Indocina merupaka salah satu titik pusat dari perjuangan Rakyat seluruh Asia Tenggara dalam mengganyang dan mengusir serta mengakhiri dominasi kolonial dari kaum imperialis untuk selama-lamanya.
Dalam perjuangan Rakyat-Rakyat di Asia Tenggara melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme, Indonesia menempati kedudukan yang penting sekali. Negeri kita kaya dengan bahan-bahan mentah yang diperlukan bagi perkembangan industri modern. Negeri kita mempunyai penduduk yang paling besar jumlahnya di Asia Tenggara. Rakyat kita memiliki tradisi-tradisi revolusioner yang gemilang. Baik pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah fasis Jepang, merasakan pukulan-pukulan keras yang dihantamkan oleh gerakan nasional Rakyat kita kepada mereka untuk mencapai kemerdekaan nasional. Negeri kita juga menempati kedudukan yang strategis militer penting sekali. Dan inilah sebabnya pula mengapa kaum imperialis senantiasa mereka khawatir terhadap Indonesia yang bisa membahayakan usaha mereka untuk mengepung negeri-negeri sosialis di Asia dan menindas gerakan-gerakan Rakyat di daerah-daerah lain di Asia Tenggara. Arti penting lainnya daripada kedudukan Indonesia dalam perjuangan Rakyat-Rakyat Asia Tenggara ini juga terletak pada kenyataan bahwa baik Rakyat maupun pemerintah di bawah pimpinan Bung Karno dengan teguh melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme sebagaimana digariskan oleh Manipol, Dasa Sila Bandung, dan Membangun Dunia Kembali. Perjuangan melawan imperialisme dilakukan oleh Rakyat Indonesia dengan konsekuen dan jika perlu dengan kekuatan senjata sebagaimana sudah disaksikan oleh dunia dengan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme Belanda. Hal ini juga telah dibuktikan dengan dihancurkannya kontra-revolusi DI-TII dan “PRRI-Permesta” yang dibantu dengan aktif dan intensif oleh kaum imperialis AS dan imperialis-imperialis lainnya. Demikian pula hal ini dibuktikan dengan melatih dan mengirim sukarelawan-sukarelawan bersenjata guna membantu Rakyat Kalimantan Utara dan Pemerintah Revolusioner NKKU di bawah pimpinan Perdana Menteri Azahari untuk membebaskan Kalimantan Utara.
Revolusi Agustus 1945 telah memberikan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga kepada revolusi-revolusi Rakyat, tidak saja di Asia Tenggara tetapi juga di daerah-daerah lainnya di dunia yang belum bebas dari kapitalisme dan imperialisme. Sekarang ini Rakyat Indonesia sedang melanjutkan perjuangan menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Ujung tombak perjuangan Rakyat Indonesia dewasa ini ditujukan kepada imperialisme, dan “impact” daripada perjuangan revolusioner Rakyat-Rakyat lainnya di Asia Tenggara sangat ditakuti oleh kaum imperialis. Oleh karena itu kaum imperialis AS dengan kaki tangannya di dalam negeri dengan berbagai jalan berusaha keras untuk merongrong dan menyelewengkan revolusi Indonesia dari garis Manipol. Tetapi usaha-usaha untuk merongrong dengan jalan subversi, intrik, penyuapan-penyuapan, dan manipulasi-manipulasi lainnya pada pokoknya mengalami kegagalan-kegagalan. Juga di negeri kita, imperialisme AS makin terisolasi. Tidak pernah semangat anti-AS begitu menanjak di kalangan Rakyat Indonesia dari berbagai golongan seperti halnya sekarang ini, terutama sesudah pidato Tavip.
Kaum imperialis AS sungguh khawatir karena sampai sekarang mereka tidak berhasil dalam membawa Republik ke dalam orbit mereka, dalam membikin RI satu mata rantai dalam cordon sanitaire yang sedang mereka bentuk di sekeliling negeri-negeri sosialis di Asia. Dalam usaha mereka untuk mengepung negeri-negeri sosialis di Asia, yang lebih dulu menjadi korban ialah Rakyat-Rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan nasional yang penuh. Menundukkan Rakyat-Rakyat ini merupakan syarat pertama bagi pembentukan cordon sanitaire mereka. Indonesia merupakan satu “gap” atau jurang yang menganga lebar, yang tidak memungkinkan kaum imperialis AS untuk mendirikan satu benteng sebagai batu loncatan yang bisa mereka pergunakan untuk menyerang negeri-negeri sosialis di Asia.
Kini kaum imperialis Inggris yang bekerja sama dengan AS mencoba untuk mengepung Republik Indonesia, melingkunginya dengan apa yang mereka namakan “federasi Malaysia”. Menghadapi ini Rakyat dan pemerintah Indonesia menjalankan politik konfrontasi. Sikap Rakyat dan pemerintah RI adalah tegas-tegas menentang dan aktif melawan. Dalam menghadapi “Malaysia” ini, sasaran pukulan konfrontasi juga harus diarahkan kepada imperialis AS, walaupun proyek “Malaysia” adalah proyek neo-kolonialisme Inggris. Mengapa demikian? Tidak lain karena imperialisme Inggris dan imperialisme AS bergandengan tangan dalam memusuhi negeri kita. Bukankah kedua negeri itu juga menjadi pemimpin-pemimpin dari persekutuan-persekutuan militer agresif SEATO? Imperialisme Inggris berani bertindak begitu kurang ajar dan begitu kepala batu justru karena sokongan kuat dan aktif yang diberikan AS kepadanya. Imperialisme Inggris berani mengirim rombongan kapal perangnya melintasi perairan teritorial Indonesia adalah karena AS berdiri di belakang tindakan mereka. Inggris berani menginstruksikan kapal-kapal terbang militer mereka melanggar udara Indonesia dan melakukan pengintaian-pengintaian di atas wilayah RI adalah karena AS merestui tindakan mereka. Jika Rakyat Indonesia melancarkan pukulan-pukulan terhadap AS lewat berbagai aksi revolusioner lewat berbagai pernyataan dan sikap yang patriotik yang melawan kekurangajaran-kekurangajaran imperialis AS, yang di samping menyokong “Malaysia” juga melakukan kegiatan-kegiatan subversif dan penetrasi di segala bidang di Indonesia, maka hal ini bukanlah merupakan satu tindakan yang salah, melainkan yang tepat setepat-tepatnya. Pertama, karena imperialisme AS memang telah menjadi musuh pertama dari revolusi Indonesia, dan kedua, karena memukul imperialisme AS dalam hal “Malaysia” ini sekaligus juga berarti memukul imperialisme Inggris yang dengan proyek “Malaysia”-nya benar-benar mengancam keamanan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Di bawah pimpinan Bung Karno, Pemerintah Indonesia dengan teguh menjalankan politik konfrontasi total terhadap “Malaysia”. Ini sesuai dengan kehendak Rakyat dan ini sesuai dengan konsep revolusioner daripada penyelesaian masalah “Malaysia” bagi negeri kita. Dan konsep revolusioner sebagai konsep satu-satunya yang benar dan tepat ini pasti akan menghasilkan kemenangan di pihak Rakyat kita. Biar kaum imperialis AS dan Inggris gemetar dalam menghadapi tekad bulat dari Rakyat Indonesia untuk menghabisi riwayat imperialisme di bumi Indonesia yang indah dan kaya raya ini.
Indonesia sebagai negeri yang paling banyak penduduknya dan juga banyak pengalaman revolusionernya di daerah Asia Tenggara harus dapat memainkan peranan nomor satu dalam perjuangan memukul imperialisme di Asia Tenggara yang dikepalai oleh imperialisme AS. Dengan memainkan peranan yang demikian, Indonesia dapat pula memainkan peranan penting dalam percaturan politik internasional.
Menangnya revolusi Indonesia akan mempunyai arti yang menentukan bagi perkembangan revolusi di Asia Tenggara. Menangnya revolusi Asia Tenggara berarti bobolnya benteng imperialisme di daerah ini, dan ini berarti banjirnya revolusi dunia. Asia Tenggara adalah pusat teleng kontradiksi-kontradiksi dunia, di samping pusat-pusat teleng yang terdapat di Afrika dan Amerika Latin. Oleh karena itu, kaum imperialis yang dikepalai oleh Amerika Serikat memusatkan perhatiannya ke Asia Tenggara, kekuatan-kekuatan militer yang besar mereka tumplekkan di Asia Tenggara dan daerah-daerah dekat Asia Tenggara.
Tetapi situasi objektif di Asia Tenggara menguntungkan Rakyat. Rakyat-Rakyat Asia Tenggara mempunyai sasaran-sasaran yang sama dalam perjuangannya. Mereka sama-sama berjuang untuk menggulingkan 4 bukit setan, yaitu imperialisme, feodalisme, kapitalisme komprador, dan kapitalisme birokrat. Boleh dibilang semua Rakyat Asia Tenggara, termasuk Rakyat Malaya, mempunyai pengalaman perjuangan bersenjata yang bertahun-tahun. Imperialisme Inggris dapat untuk sementara menindas gerakan bersenjata di Malaya, tetapi pengalaman perjuangan bersenjata Rakyat Malaya yang bertahun-tahun tidak mungkin mereka tiadakan.
Syarat-syarat objektif dan situasi objektif untuk revolusi di Asia Tenggara adalah baik. Soalnya tinggal menyediakan syarat-syarat subjektif, orang-orang revolusioner yang mampu memimpin perjuangan itu secara pandai di seluruh Asia Tenggara. Pada waktunya, syarat-syarat itu pasti akan terpenuhi di semua negeri Asia Tenggara.
“Membangun Dunia Kembali” adalah garis-garis besar politik luar negeri Republik Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan ketetapan No. I/MPRS/60 telah menetapkan bahwa “Membangun Dunia Kembali”, yaitu pidato Presiden Sukarno pada tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB, adalah salah satu pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.
Di samping itu, Dewan Pertimbangan Agung dalam sidangnya pada tanggal 19 Januari 1961 telah memutuskan bahwa “isi pidato Membangun Dunia Kembali itu adalah pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia di bidang politik luar negeri Republik Indonesia”, dan pula “menyetujui perincian isi pidato Membangun Dunia Kembali, sebagai satu kesatuan tafsiran dalam pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia” (Tubapi, halaman 250).
Dari perincian MDK tersebut yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa:
1) “Garis-garis besar politik luar negeri Indonesia:
a. Berdasarkan UUD 1945.
b. Bersifat bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme.
c. Bertujuan: Mengabdi kepada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia yang penuh; Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa-bangsa di dunia; Mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian dunia” (Tubapi, halaman 250).
2) “Tentang sifat dan tujuan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif anti-imperialisme dan kolonialisme, Manifesto Politik menunjukkan kewajiban-kewajiban revolusi Indonesia yang terpenting ialah membebaskan Indonesia dari semua imperialisme dan kolonialisme dan menegakkan tiga segi kerangka sebagai berikut:
Kesatu: Pembentukan satu negara Republik Indonesia yang berbentuk Negara-Kesatuan dan Negara-Kebangsaan yang demokratis, dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke;
Kedua: Pembentukan satu masyarakat adil dan makmur materiil dan spirituil dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia itu;
Ketiga: Pembentukan satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali dengan negara-negara Asia-Afrika, atas dasar hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar bekerja-bersama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada Perdamaian Dunia yang sempurna” (Tubapi, halaman 255).
Kalau kita telaah benar-benar 3 kerangka Manipol ini maka akan jelaslah tentang satunya tugas politik luar negeri dan dalam negeri serta satunya patriotisme dan internasionalisme. Jadi kelirulah jika hal-hal itu dipertentangkan.
3) Selanjutnya dari kesimpulan perincian MDK tersebut, yang penting sekali adalah:
a. Kesimpulan bahwa: “Politik luar negeri Republik Indonesia mencerminkan satu konsepsi nasional yang berasaskan Panca Sila dengan cita-cita internasionalisme untuk kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia yang didukung oleh seluruh Rakyat Indonesia” (Tubapi, halaman 291).
b. Kesimpulan bahwa: Politik luar negeri bebas aktif Republik Indonesia adalah “politik yang memihak, yaitu memihak kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme-kolonialisme dan perang agresif”, dan “harus menghimpun semua kekuatan progresif di dunia dalam satu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme-kolonialisme dan perang agresif”, dan “bahwa hanya dengan mengikutsertakan Rakyat, politik luar negeri Republik Indonesia seperti digariskan dalam Membangun Dunia Kembali akan sukses” (Tubapi, halaman 292).
PERIODISASI POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
Untuk bisa memahami politik luar negeri RI yang progresif sekarang ini, kita perlu mengetahui proses terjadinya politik luar negeri ini. Sejak lahirnya RI hingga sekarang, sejarah perkembangan politik luar negeri RI pada pokoknya dapat dibagi dalam 3 periode dengan konsep politik luar negeri yang masing-masing berbeda satu sama lain meskipun namanya pada pokoknya sama, yaitu politik luar negeri yang bebas. Ketiga periode tersebut adalah:
1. PERIODE 1945 – 1952
Pada masa itu politik luar negeri RI disebut “bebas” dalam arti kata “netral”, tapi bukan independen (berdiri sendiri). Pada hakikatnya politik luar negeri demikian itu memihak Barat. Dengan politik luar negeri demikian, di saat-saat perjuangan sengit melawan kepungan dan agresi Belanda, maka terdapatlah suatu kontradiksi antara pergolakan revolusioner di dalam negeri dengan politik luar negeri yang pro-Barat. Sumber dari politik luar negeri yang reaksioner itu adalah konsepsi Syahrir yang dapat dibaca sesudah berdiri Republik Indonesia, antara lain bahwa: “letak Indonesia di dalam lingkungan daerah pengaruh kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika. Nasib Indonesia tergantung daripada nasib kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika (halaman 12).
Alangkah malangnya Rakyat Indonesia, karena menurut Sutan Syahrir, nasibnya digantungkan pada nasib kaum imperialis Inggris-Amerika! Selanjutnya dikatakan oleh Syahrir dalam tulisannya tersebut, bahwa dalam batas-batas pertentangan antara kepentingan politik AS dan politik Inggris, yang masing-masing dikatakannya ingin menggunakan kekuasaan Belanda di Indonesia, terletak “kemungkinan untuk kita mendapatkan kedudukan yang baru yang cocok dengan kehendak politik raksasa Pasifik ini” (halaman 13).
Dari konsepsinya itu, Syahrir mengakui bahwa kemerdekaan yang mungkin kita dapat tidak lebih daripada “kemerdekaan” seperti yang terlihat pada negeri-negeri lain yang berada di bawah negara imperialis besar, yaitu merupakan kemerdekaan dalam nama saja. Jelaslah bahwa konsepsi politik luar negeri Syahrir hanya mengakui satu kemunginan yang tidak lebih daripada kemerdekaan boneka model “Malaysia”, Vietnam Selatan, atau Korea Selatan.
Kemerdekaan yang dicita-citakan Syahrir adalah kemerdekaan yang direstui imperialis, karena katanya: “Inipun hanya bisa didapat, jika Pemerintah RI bisa menghindarkan kekacauan yang akan mengancam keinginan dan kemungkinan modal luar negeri”, sebab, demikian katanya lebih lanjut, “jika dianggapnya benar-benar merugikan, ia (kaum kapitalis luar negeri) akan mengerahkan sekalian tenaga untuk menentang kita, serta ia akan tidak ragu-ragu menyebabkan intervensi militer untuk membela kepentingan modalnya” (halaman 9).
Kiranya tidak perlu diragu-ragukan lagi, bahwa pikiran kapitulasi ini pulalah yang menyebabkan Hatta mengeluarkan Manifes Politik 1 November 1945 yang menjamin akan dikembalikannya perusahaan-perusahaan imperialis, termasuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Pendeknya, sudah sejak semula Syahrir memegang peranan penting dalam politik luar negeri Indonesia, ia telah menakut-nakuti Rakyat Indonesia dengan menganjurkan supaya menyerahkan kepada imperialisme dan supaya jangan merugikan atau membikin marah kaum imperialis. Politik kapitulasi ini diselimuti dengan istilah “politik kekuatan ketiga”. Apakah yang bisa diharapkan dari konsepsi politik luar negeri seperti ini, selain daripada kapitulasi dan sekali lagi kapitulasi kepada imperialisme?
Jadi jelaslah bahwa politik bebas Syahrir langsung bertentangan dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk perdamaian dan anti-kolonial yang disokong oleh Rakyat Indonesia sekarang. Syahrir bukan pembentuk politik luar negeri Indonesia yang sekarang didukung oleh Rakyat Indonesia, sebaliknya, ia adalah lawannya.
Politik luar negeri Sutan Syahrir yang khianat itu dilanjutkan oleh Hatta tidak hanya melalui Manifes Politiknya, tetapi juga melalui Mendayung di Antara Dua Karang, pidatonya di depan BP KNIP, September 1948, yang mengatakan antara lain, bahwa: “berhubung dengan letak tanah air kita di tengah-tengah perhubungan internasional itu, yang masa sekarang masih dilingkungi oleh negara-negara kapitalis, adalah suatu politik yang bijaksana bahwa kita tidak memperbesar lingkungan musuh kita”.
Kata-kata ini diucapkan oleh Hatta justru pada saat Rakyat Indonesia berjuang melawan imperialisme, dan ketika AS lewat “penasihat-penasihat”-nya secara langsung mencampuri persoalan dalam negeri Indonesia untuk mengadakan pengejaran terhadap kaum Komunis. Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa dengan “politik bebas”-nya itu, Hatta bermaksud agar Indonesia tidak memusuhi dan tidak menimbulkan amarah kaum imperialis. Kelanjutannya ialah karena kaum imperialis menghendaki supaya mengejar-ngejar dan meneror kaum Komunis, maka agar kaum imperialis tidak marah, dijalankanlah kehendak imperialis itu. Pendeknya, politik luar negeri Syahrir-Hatta yang berpangkal pada Perjuangan Kita dan Mendayung di Antara Dua Karang adalah politik menyerah pada imperialisme, yang kemudian berkembang menjadi terang-terangan anti-Komunis, dan tidak hanya menghasilkan persetujuan “Linggarjati” dan “Renville”, tetapi juga mengakibatkan persetujuan KMB yang ditentang kaum Komunis, bahkan terus mencapai puncaknya dalam pemberontakan “PRRI-Permesta”. Pada hakikatnya politik Syahrir-Hatta adalah reaksioner pro-Barat, politik menyerah kepada imperialisme. Politik luar negeri Syahrir-Hatta meremehkan kekuatan Rakyat Indonesia sendiri dan kekuatan anto-kolonial di dunia, dan sebaliknya menyerah kepada intimidasi dan kehendak imperialisme. Karena itu ia sama sekali bukanlah politik bebas, melainkan politik memihak imperialisme.
2. PERIODE 1952-1959 DENGAN KONSEP POLITIK LUAR NEGERI BEBAS YANG AGAK MAJU
Dalam periode ini, politik bebas model Syahrir-Hatta tidak bisa lagi dipertahankan karena terbukti memang bertentangan dengan kepentingan Indonesia dan bertentangan dengan hasrat dalam hati Rakyat Indonesia, hal mana mencapai klimaksnya dengan perlawanan Rakyat terhadap ditandatanganinya persetujuan MSA dengan AS yang menyebabkan pemerintah Sukiman jatuh dalam bulan Februari 1952.
Karena itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu dari politik luar negeri Indonesia sehingga akhirnya dinamakan “politik luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian”. Sejak kabinet Wilopo – kabinet pertama sesudah KMB yang mendapat sokongan PKI, politik “bebas” Syahrir-Hatta mulai ditinggalkan tetapi kesanggupan untuk menempatkan Indonesia tegas-tegas ke dalam front internasional anti-imperialis dan cinta damai belum cukup pada kabinet Wilopo, terutama karena di dalamnya masih cukup banyak elemen-elemen Masyumi-PSI. “Politik bebas” pada waktu itu berada dalam krisis dan terombang-ambing. Di satu pihak adalah suatu kenyataan bahwa kepentingan Republik Indonesia memang terletak dan terjamin dalam kerja sama dengan negara-negara kubu sosialis dan negara-negara AA, sedang di pihak lain masih kuat keragu-raguan dan kekhawatiran kalangan yang berkuasa untuk menentang dan melawan imperialis. Situasi politik bebas dan aktif demikian dikarakterisasi Ruslan Abdulgani dengan mengatakan bahwa batas kanannya politik bebas aktif adalah “perjanjian MSA” di mana reaksi massa Rakyat terhadap perjanjian tersebut sangat hebat hingga menjatuhkan Kabinet Sukiman, sedangkan batas kirinya adalah join-statement Indonesia-Uni Soviet (1956) di mana perlawanan dari kekuatan-kekuatan yang menentangnya ketika itu juga hebat. Politik bebas aktif hanya boleh berlayar antara kedua batas tersebut, tidak boleh melampaui batas kanan maupun kiri (Mendayung dalam Taufan).
Dalam keadaan demikian, Rakyat progresif menghadapi tugas penting untuk membantu dan mendorong Pemerintah Indonesia supaya berani dan sanggup melawan subversi, intimidasi, intervensi dari politik perang imperialis, melawan kolonialisme, dan berani serta sanggup bekerja sama yang jujur dengan negeri-negeri kubu sosialis.
Sesungguhnya tradisi politik luar negeri Indonesia semenjak berdirinta Republik Indonesia adalah berdasar hubungan dan kerja sama persahabatan dengan Timur, sekalipun Sutan Syahrir dan Hatta merintanginya. Pembelaan pertama terhadap RI oleh wakik Soviet Ukraina dalam PBB, D. Manuilsky ketika menghadapi agresi kolonial Belanda, adalah salah satu sendi penting yang telah diletakkan untuk menegakkan kedudukan Indonesia dalam dunia internasional. Ini diperkuat lagi oleh berhasilnya perlawanan Rakyat terhadap politik pro-Barat Syahrir-Hatta dengan diadakannya hubungan diplomatik pertama tingkat duta antara RI dengan Republik Cekoslovakia dalam tahun 1947 dan kemudian hubungan konsuler antara RI dengan Uni Soviet dalam bulan Mei 1948 yang dilakukan oleh Duta Istimewa dan Menteri berkuasa penuh Suripno. Tetapi kemudian semuanya ini dibatalkan oleh kabinet Hatta.
Negara-negara sosialis adalah pembela-pembela dan penyokong-penyokong setia yang sejak tahun-tahun pertama revolusi sudah membela Republik Indonesia. Ini menguntungkan Indonesia. Juga menguntungkan Indonesia, dan tidak mungkin diabaikan arti pentingnya bantuan dan pengakuan negara-negara Asia-Afrika pada tahun-tahun permulaan revolusi. Semuanya ini adalah bukti bahwa sahabat-sahabat tradisional RI dan sahabat-sahabat di waktu-waktu yang sulit adalah negara-negara Timur (dalam artian politik bukan dalam artian geografi) dan bukan negara-negara Barat. Tidak dapat dibantah bahwa pada saat-saat Indonesia mati-matian melawan kolonialisme Belanda dan sekarang ini mengganyang “Malaysia”, negara-negara Barat selamanya berdiri di pihak musuh Indonesia. Dalam hubungan ini, saya menilai tepatnya tindakan Pemerintah baru-baru ini yang telah meningkatkan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Demokrasi Korea dan Republik Demokrasi Vietnam. Adalah lebih tepat lagi bila hubungan dengan Republik Demokrasi Jerman juga segera ditingkatkan karena adalah jelas bahwa dalam masalah “Malaysia”, Republik Federal Jerman (Jerman Barat) –dengan mana sejak lama kita mempunyai hubungan tingkat duta besar— selalu menyokong “Malaysia”, sedangkan dengan RDD yang selalu menyokong politik RI, kita baru mempunyai hubungan tingkat konsulat jenderal.
KONFERENSI ASIA-AFRIKA KE-I
Atas desakan dan sokongan kekuatan-kekuatan progresif, dasar politik yang lebih maju akhirnya dapat diletakkan, terutama oleh kabinet Ali Sastroamijoyo yang telah berhasil mendorong lahirnya prinsip-prinsip dasasila dan semangat Bandung yang bersejarah. Salah satu peristiwa internasional terpenting dalam periode ini adalah Konferensi Asia-Afrika pertama di Bandung, di mana buat pertama kali negeri-negeri AA mulai membikin sejarahnya sendiri secara kolektif yang merupakan perwujudan konkret dari peranan yang makin besar dan penting bagi negara-negara AA dan di mana khususnya Indonesia muncul sebagai kekuatan baru dan terdepan dari barusan AA tersebut.
Pengaruh Konferensi Bandung benar-benar di luar dugaan semua orang. Pengaruh konferensi ini sangat terasa dalam perkembangan situasi internasional. Konferensi ini adalah konferensi internasional pertama dari negara-negara Asia Afrika yang umumnya baru saja mencapai kemerdekaannya, tetapi yang hasilnya telah sangat meninggikan martabat Asia-Afrika, karena ia telah memberikan sumbangan besar bagi terpeliharanya perdamaian dunia dan memberikan dasar bagi perdamaian dunia yang kekal abadi yaitu kemerdekaan nasional untuk semua bangsa. Konferensi AA telah memberikan kepada dunia semangat dan prinsip-prinsip Bandung. Dasasila Bandung, yaitu perkembangan dari Pancasila koeksistensi secara damai. Konferensi Bandung adalah konferensi internasional yang membicarakan nasib Asia-Afrika antara bangsa-bangsa Asia-Afrika secara Asia-Afrika dan tanpa turut sertanya negara-negara bukan AA yang di masa-masa lampau secara tradisional menentukan nasib AA. Konferensi Bandung telah memberikan senjata di tangan Rakyat AA yang masih berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya untuk dengan gagah berani meneruskan perjuangannya karena Bandung menyokong tanpa reserve semua bangsa yang berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Keputusan konferensi ini yang mengenai bangsa-bangsa yang belum merdeka antara lain berbunyi: “bahwa kolonialisme dalam bentuk yang bagaimanapun juga adalah suatu kejahatan yang harus segera diakhiri dan menyatakan bantuannya pada perjuangan untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan bagi semua bangsa-bangsa”.
Demikianlah Konferensi Bandung telah memancarkan spektrum kemerdekaan, perdamaian, dan kepribadian AA. Semangat Bandung mengintegrasikan diri dengan Rakyat. Bahwa keputusan Bandung sesuai dengan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat AA ini ternyata dari munculnya bermacam-macam organisasi dan konferensi-konferensi Rakyat-Rakyat AA seperti: Organisasi Setia Kawan Rakyat Asia-Afrika (OSRAA), Konferensi Mahasiswa AA, Konferensi Buruh AA (dalam persiapan), Konferensi Wartawan AA, Konferensi Ahli Hukum AA, Konferensi Wanita AA, Festival Film AA, Konferensi Islam AA (dalam persiapan), dan lain-lain. Konferensi-konferensi ini sangat besar artinya dalam mengkonsolidasi dan mengembangkan semangat dan prinsip-prinsip Bandung, setia kawan negara-negara dan Rakyat AA semakin berkembang. Ini juga tercermin dalam kerja sama AA di PBB. Dengan cepat terdapat pengaruh timbal balik antara makin kuatnya kesetiakawanan AA di tingkat negara-negara dengan gerakan Rakyat-Rakyat AA.
Pengaruh semangat Bandung terutama terlihat secara mencolok dengan makin meningkatnya perjuangan Rakyat Afrika untuk kemerdekaan nasionalnya. Konferensi Addis Ababa, yaitu suatu konferensi dari Organisasi Persatuan Afrika (OPA) telah berhasil memperkuat solidaritas antara negeri-negeri Afrika dan menggagalkan segala usaha kaum imperialis untuk memecah belah. Konferensi ini adalah usaha konsolidasi yang konkret daripada Konferensi Bandung, yaitu aksi dan koordinasi, dan merupakan pukulan yang hebat terhadap kaum imperialis, kaum kolonialis, dan neo-kolonialis.
“Ya, pohon semangat Bandung akarnya sudah semakin masuk tanah! Daunnya semakin rindang! Bunganya semakin semarak! Buahnya semakin banyak dan lezat! Solidaritas AA sudah bertambah kokoh, dan ini merupakan gunung karang yang membikin kandasnya setiap percobaan reaksioner dan kontrarevolusioner dari Nekolim”, demikian Presiden Sukarno (Tavip, halaman 43).
3. PERIODE 1959 SAMPAI SEKARANG (PERIODE MANIPOL)
Politik luar negeri RI sejak tahun 1959, jadi sejak Manipol, adalah politik luar negeri yang progresif revolusioner, karena ia sesuai dengan semangat perjuangan Rakyat Indonesia dewasa ini untuk mengganyang imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme dan sesuai dengan kerangka ketiga Manipol. Kalau salah satu zenialitas Bung Karno dalam politik dalam negeri dibuktikan oleh gagasan NASAKOM, maka salah satu zenialitas Bung Karno dalam politik luar negeri dibuktikan oleh gagasan NEFO kontra OLDEFO. Dengan politik luar negeri Manipolis untuk menggalang kekuatan NEFO dan mengganyang OLDEFO, Indonesia dapat mempengaruhi perkembangan situasi internasional dan Indonesia dapat menempati kedudukan yang berpengaruh di kalangan negeri-negeri Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yaitu dalam poros NEFO. Di samping konsepsi NEFO kontra OLDEFO, dalam periode ini lahir pula konsepsi-konsepsi dan semboyan-semboyan politik yang jelas dan tegas seperti “kita cinta perdamaian tetapi lebih cinta kemerdekaan”, “bebas dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”, “NEFO dengan poros AAA lawan Nekolim”, dan lain-lain.
Perlu kiranya dikemukakan di sini bahwa meskipun saya menyatakan periode ini sebagai periode yang melahirkan konsepsi-konsepsi politik luar negeri yang progresif revolusioner namun banyak benih-benih lahirnya konsepsi-konsepsi itu sudah jauh lebih dahulu ditaburkan.
PIKIRAN-PIKIRAN BUNG KARNO SEBAGAI LANDASAN
Kita semuanya mengetahui bahwa mengenai soal-soal hubungan internasional, dan soal-soal politik luar negeri, Bung Karno sudah banyak meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendinya dalam pikiran-pikiran beliau dari zaman sebelum Indonesia merdeka dan dalam pengabdiannya kepada kelanjutan revolusi, dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk konsepsi politik yang baru dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kita tentunya ingat akan ajaran Bung Karno dalam tulisannya yang terkenal Mencapai Indonesia Merdeka, 31 tahun yang lalu, di mana ditegaskan bahwa: “imperialisme yang merajalela di Indonesia hanyalah bisa kita kalahkan dengan selekas-lekasnya kalau kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa Asia di luar pagar”.
Hal ini tidak bisa lain karena kata Bung Karno selanjutnya dalam tulisannya itu: “Raksasa modern imperialisme yang ada di sini, ini bukan lagi raksasa biasa, tetapi sudah menjelma menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang sepuluh kepala dan mulutnya: badannya imperialisme Belanda tetapi badan ini memikul kepala imperialisme Inggris, kepala imperialisme Amerika, kepala imperialisme Jepang, Perancis, Jerman, Italia, dan lain-lain”.
Oleh karenanya, demikian Bung Karno selanjutnya: “.....jikalau raksasa-raksasa imperialis bekerja bersama-sama, maka marilah kita, korban-korbannya raksasa imperialisme itu juga bekerja bersama-sama. Marilah kita juga mengadakan eenheidsfront daripada prajurit-prajurit kemerdekaan Asia” (Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 294-296).
Bukankah ini sendi bagi kerja sama AA yang sedang kita konsolidasi sekarang ini?
Kita ingat semboyan politik Bung Karno yang amat besar daya mobilisasinya “kita cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Semboyan ini lahir dalam pidato Bung Karno pada peringatan Hari Proklamasi 1948, dan dikembangkan lebih lanjut dalam ajaran beliau yang menegaskan bahwa dengan imperialisme, kita hanya bisa berbicara bahasa kekuatan, karena imperialisme tidak aan mengundurkan diri dengan sukarela, tetapi harus kita tendang keluar. Dari semula Bung Karno sudah mendidik kita untuk jangan mempunyai ilusi terhadap imperialisme tetapi selalu menjalankan sikap dan politik konfrontasi terus-menerus terhadapnya “as a matter of principle”, di manapun juga timbul masalah. Dalam praktik memimpin revolusi, keteguhan prinsip anti-imperialisme ini selalu dipegang teguh oleh Bung Karno, bahkan dalam menjalankan taktik-taktik perundingan sekalipun, jika hak demikian perlu dilakukan. Sesuatu perundingan hanya bisa menguntungkan kita bila di belakangnya ada kekuatan, kekuatan persatuan Rakyat yang kokoh dan kekuatan senjata.
Dalam pelaksanaannya, Bung Karno selalu mewejangkan perlu mutlaknya mengenal dan dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan, agar tidak salah menjalankan teknik perjuangan untuk selalu bersatu dan berkonsultasi dengan kawan dan berkonfrontasi terhadap lawan. Di sinilah tepatnya Manikebu dilarang, karena justru Manikebu bertujuam mengaburkan siapa kawan dan siapa lawan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pikiran-pikiran Bung Karno mengenai soal-soal politik internasional akhirnya sampai kepada konsepsi yang ilmiah, yaitu yang menyimpulkan terbaginya dunia dan umat manusia dalam dua golongan atau kubu, yaitu: “the old established forces of imperialist domination” (kekuatan yang sedang bercokol dari dominasi imperialis) dan “the new emerging forces” (kekuatan yang sedang tumbuh), di mana negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin tergolong bersama dengan negara-negara Sosialis dan semua kekuatan progresif di negeri-negeri kapitalis. Kaum Komunis Indonesia berpendapat bahwa perumusan NEFO adalah perumusan yang sepenuhnya sesuai dengan semboyan V. I. Lenin: “Kaum buruh semua negeri dan nasion-nasion tertindas, bersatulah”. Dengan demikian semboyan NEFO kontra OLDEFO itu adalah juga sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
Saya berpendapat bahwa pikiran-pikiran Bung Karno yang sudah dipakukan dalam konsepsi-konsepsi resmi, dalam Pancasila, Manipol, serta pedoman-pedoman pelaksanaannya, Tavip, dan lain-lain dokumen, sudah semestinya dijadikan landasan bagi kita dalam memahami dan mengembangkan lebih lanjut konsepsi-konsepsi politik luar negeri Indonesia yang progresif revolusioner, dan mengalahkan konsepsi-konsepsi yang reaksioner.
NEFO KONTRA OLDEFO
Seperti telah dikemukakan di atas “politik luar negeri bebas aktif Republik Indonesia adalah politik yang memihak, yaitu memihak kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme, kolonialisme, dan perang agresif”, dan “menghimpun semua kekuatan progresif di dunia dalam satu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme, kolonialisme, dan perang agresif”. Pengertian ini dalam pidato Presiden di KTT Non-Blok Beograd telah dirumuskan menjadi konsepsi NEFO lawan OLDEFO. Konsepsi ini merupakan suatu prestasi yang sangat penting dalam pengembangan politik luar negeri Republik Indonesia.
Politik luar negeri ini dalam percaturan internasional menurut kenyataannya telah menempatkan RI dalam posisi yang cukup berpengaruh di kalangan negara-negara AAA dan NEFO. Kalau Indonesia sekarang dihormati oleh bangsa-bangsa lain, maka hal itu adalah karena politiknya yang anti-imperialis, tidak non-committed, dan tidak anti-kubu Sosialis, tetapi bersama-sama dengan negeri-negeri Sosialis, negeri-negeri yang baru merdeka dan kekuatan progresif lainnya di seluruh dunia melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme.
Adalah tepat sekali pendapat Bung Karno bahwa “bukan saja solidaritas Afrika-Asia yang kokoh, tetapi juga solidaritas NEFO, yang melingkupi Tritunggal, negara-negara sosialis, negara-negara yang baru merdeka, dan kekuatan progresif di negara-negara kapitalis, solidaritas NEFO inipun makin menjelma, makin tumbuh makin kokoh. Ketika saya mengoreksi teori ‘tiga kekuatan dan kekuatan ketiga’, dan melantunkan teori NEFO kontra OLDEFO, ada orang-orang malahan ada sebagian di antara kawan-kawan kita sendiri, yang tidak segera mengertinya, dan mengira bahwa teori NEFO itu ‘tidak ada isinya’. Dasar mereka orang-orang yang tidak mempunyai penglihatan sejarah! Sekarang bukan saja GANEFO pertama sukses besar, tetapi ofensif NEFO di bidang politik, ekonomi, kultur, dan militer mencapai kemenangan-kemenangan dari hari ke hari pada skala internasional” (Tavip, halaman 43-44).
SOAL-SOAL NON-BLOK, KOEKSISTENSI DAMAI, DAN GEOPOLITIK
1. SOAL-SOAL NON-BLOK
Berhubung dengan aktualnya konferensi non-blok di Kairo baru-baru ini, dan pula berhubung dengan kemenangan penting yang dicapai politik anti-nekolim yang dipelopori oleh perutusan Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno, ingin saya berbicara lebih banyak tentang soal non-blok.
Apakah non-blok itu?
Pada mulanya konsepsi non-blok merupakan edisi yang diperbaharui dari konsepsi netralitas. Konsepsi ini sesungguhnya didasarkan atas suatu tafsiran fundamental tentang dikuasainya dunia oleh dua blok negara besar, yaitu blok negara besar AS yang kapitalis, dan blok negara besar Uni Soviet yang sosialis. Tafsiran ini juga menyatakan bahwa dunia ini dikuasai oleh ideologi yang saling bertentangan, yaitu “Declaration of Independence” dari Thomas Jefferson yang liberal dan kapitalis, dan ideologi “Manifes Komunis” dari Marx dan Engels yang sosialis itu.
Dengan tidak meninjau lebih dalam perbedaan-perbedaan antara kedua blok dan kedua ideologi itu, artinya dengan mempersamakan begitu saja kedua blok dan ideologi itu sebagai yang sama-sama menjalankan “power politics” dan menimbulkan perang dingin, maka konsepsi non-blok mengambil sikap tidak mau masuk dalam salah satu dari dua blok tersebut dan hendak berdiri sendiri. Terang tidak ilmiahnya serta ngacaknya teori non-blok itu, karena menyamakan begitu saja Sosialisme dengan kapitalisme.
Di samping itu pendapat yang menyatakan bahwa AS dewasa ini mewakili “Declaration of Independence” dari Thomas Jefferson adalah tidak tepat, karena, dewasa ini justru AS mencederai Declaration tersebut. Sudah lama AS membuang panji Declaration tersebut dan justru negara-negara AAA-lah yang memungut panji tersebut dan mengibarkannya tinggi-tinggi dalam mengusir penguasa asing dari negeri masing-masing, terutama mengusir AS.
Maka itu politik non-blok yang berpangkal pada pendirian yang mempersamakan kapitalisme dengan Sosialisme, pada hakikatnya adalah munafik dan reaksioner karena menghamba kepada imperialisme.
Sikap non-blok patriotik negara-negara Afrika
Konsepsi non-blok bisa mendapat sambutan baik dari negara-negara yang memang jujur menginginkan bebas berdiri sendiri sebagai sewajarnya suatu negara merdeka. Sikap demikian misalnya banyak dianut oleh negara-negara Afrika dewasa ini. Negara-negara di Afrika yang berjuang untuk kemerdekaan nasional, untuk lepas dari cengkeraman imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme, juga menyatakan diri non-blok. Politik non-blok yang demikian mempunyai arti patriotik dan progresif, karena bersifat anti-nekolim. Politik ini dapat menjadi komponen yang komplementer terhadap semangat Bandung, Negara-Negara Afrika yang baru merdeka banyak yang belum dapat mengalami dan belum dapat menyadari bahwa konsepsi non-blok dalam praktik yang sesungguhnya bisa tidak sejujur yang mereka kira. Mereka tentu belum dapat memahami bahwa konsepsi non-blok ini dapat membingungkan pengenalan tentang siapa kawan dan siapa lawan dalam percaturan internasional.
Soal blok ketiga
Berbagai uraian penganjur konsepsi non-blok ini menekankan bahwa kelompok negara non-blok tidak bermaksud membentuk blok ketiga di samping dua blok yang sudah ada. Hal ini dari semula sesungguhnya sudah tidak masuk akal, karena di satu pihak dikatakan bahwa negara-negara non-blok hendak merupakan kekuatan tersendiri di luar dua blok kekuatan di dunia yang ada, sedangkan di pihak yang lain dikatakan bahwa blok kekuatan dunia yang tersendiri itu bukanlah blok ketiga. Kalau orang bicara dalam ukuran dua blok yang hanya meliputi sebagian saja dari umat manusia, maka otomatis bagian selebihnya dari dunia yang satu ini, merupakan blok yang lain, blok yang ketiga. Tidak jadi soal apakah formal dikatakan demikian atau tidak.
Keruwetan dalam pemikiran politik ini yang sesungguhnya dilahirkan oleh teori non-blok dan yang dengan sendirinya dapat meruwetkan pula perjuangan anti-imperialis bangsa-bangsa AA, telah dengan tepat disadari dan dikoreksi oleh Bung Karno sendiri yang menegaskan bahwa dunia bukannya terbagi dalam tiga blok, tetapi terbagi dalam 2 blok, yaitu blok NEFO dan OLDEFO. Tempatnya Asia-Afrika adalah dalam blok NEFO bersama dengan negeri-negeri Sosialis dan kekuatan-kekuatan progresif lainnya di dunia. Koreksi Bung Karno ini seperti dinyatakan dalam pidatonya pada Hari Sarjana 29 September 1962, lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Di dalam pidato 17 Agustus 4 tahun yang lalu, saya mencoba corrigeer ucapan Bertrand Russel ini dengan berkata, salah meneer Bertrand Russel, dunia bukan sekadar dua blok, tetapi ada blok nomor tiga, yaitu bloknya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang ingin membebaskan diri, bloknya negara-negara yang berpolitik bebas dan aktif. Belakangan Saudara-Saudara, di dalam konferensi non-committed nations di Beograd, saya keluar dengan formulering baru yaitu formulering bahwa manusia, umat manusia di dunia sekarang ini terpecah menjadi 2 golongan, golongannya ‘NEFO’ dan golongannya ‘OLDEFO’. Dan NEFO itu Saudara-Saudara, ialah golongannya negara, Rakyat Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Sosialis, pendeknya golongannya manusia-manusia yang jumlahnya tiga perempat dari umat manusia ini yang menghendaki keadilan, yang menghendaki kemerdekaan, yang menghendaki hidup layak. Dan sekarang saya mengira bahwa saya punya formulering atau saya punya analisis ini adalah paling tepat, artinya lebih tepat daripada analisis saya yang dulu bahwa dunia ini terdiri daripada tiga golongan. Dua golongan daripada Bertrand Russel, satu golongan yang saya seselkan atau selipkan antara dua ini. Saya pikir sebentar sebelum konferensi Beograd, bahwa lebih tepat saya bikin dua golongan OLDEFO dan NEFO”.
Demikian pelempangan pikiran yang amat menyegarkan dan menjernihkan yang diberikan oleh Bung Karno terhadap keruwetan-keruwetan pengertian yang ditimbulkan oleh teori non-blok. Dengan dibagi habisnya dunia dalam dua blok saja, maka otomatis tidak ada masalah tentang blok yang lain.
Bukan soal pertentangan ideologi
Pelempangan pikiran yang diberikan oleh Bung Karno yang pertama-tama diucapkan justru di Beograd, secara teori didasarkan pada analisis yang tepat dari Bung Karno yang mengatakan sebagai berikut: “Pendapat dunia sekarang ini ingin meyakinkan kita bahwa sumber-sumber sebenarnya daripada ketegangan dan perselisihan internasional adalah sengketa ideologi negara-negara besar. Saya rasa itu tidak benar. Ada suatu sengketa yang lebih parah mengiris daging umat manusia, yaitu sengketa antara kekuatan baru yang bangkit untuk kemerdekaan dan keadilan melawan kekuatan-kekuatan penjajahan yang lama”.
Selanjutnya beliau mengatakan: “Dalam setiap peristiwa, sebab dan akar daripada ketegangan internasional adalah imperialisme dan kolonialisme dan pemisahan bangsa-bangsa secara kekerasan”.
Peringatan Bung Karno ini baik dicamkan oleh pembantu-pembantu imperialisme di negeri kita yang terus-menerus menyebar perpecahan dan permusuhan dengan menonjol-nonjolkan perbedaan ideologi.
Konsepsi non-blok dapat menimbulkan ilusi terhadap imperialisme
Berdasarkan kekaburan pandangan tentang batas-batas antara kawan dan lawan yang ditimbulkan oleh teori non-blok itu, maka konsepsi non-blok sesungguhnya menganjurkan suatu ilusi yang berbahaya terhadap imperialisme, suatu ilusi yang membebaskan imperialisme dari tunjukan hidung sebagai “sebab dan akar daripada ketegangan internasional”. Tidakkah berbahaya sekali apabila Rakyat tidak dapat mengenal imperialisme sebagai justru biang keladi dari ketegangan-ketegangan dunia?
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas itu, maka konsepsi non-blok dengan sendirinya tidak dapat melihat tergantungnya keamanan dan perdamaian dunia sebagai sesuatu yang bersumber pada imperialisme, tetapi bersumber pada “hubungan antara dua negara besar”. Akibatnya ialah bahwa, untuk mencapai perdamaian dunia yang kekal, orang harus “berseru dan mengharap kepada dua negara besar akan kebaikan hatinya untuk meniadakan perang”. Approach yang non-politis dan berilusi ini mengartikan perdamaian sebagai sekadar tiadanya perang, suatu pengertian yang tidak dapat dipergunakan sebagai pedoman aksi bagi gerakan Rakyat revolusioner.
Keabstrakan konsepsi non-blok tentang masalah perdamaian ini kelihatan jelas sekali apabila dibandingkan dengan ajaran konkret Bung Karno yang menegaskan bahwa “dalam abad ke-XX ini, perdamaian yang abadi mempunyai arti yang lebih daripada terbayangnya ketiadaan perang”, dan bahwa “perdamaian abadi, ialah lebih daripada hanya ketiadaan perang, tetapi penghapusan sebab-sebab pokoknya, dengan pemberantasan imperialisme, kolonialisme, dan bentuk lain daripada penindasan asing, dan pelaksanaan keadilan sosial di antara manusia dan di antara bangsa-bangsa dalam bentuk positif” (Amanat pada pembukaan KWAA, 24 April 1963).
Non-blok menghindari konfrontasi terhadap imperialisme
Menjadi jelas kiranya bahwa pada hakikatnya konsepsi non-blok ini berarti menghindari konfrontasi terang-terangan terhadap imperialisme dan menutup-nutupi problem yang sesungguhnya dari dunia sekarang, yaitu bahwa tiadanya perdamaian dan keamanan di dunia adalah karena imperialisme. Konsepsi non-blok ini berbahaya, amat berbahaya sekali, bagi perlawanan dan solidaritas anti-imperialis dari bangsa-bangsa seperti yang diperjuangkan oleh Konferensi Bandung dan oleh politik luar negeri Indonesia.
Dalam praktik politik internasional, konsepsi non-blok ini dengan sadar atau tidak, dipergunakan oleh negara-negara anti-Bandung sebagai alat dan saluran politik untuk memfitnah aksi-aksi solidaritas anti-imperialis Asia-Afrika seperti yang banyak diambil inisiatifnya oleh Indonesia. Kaum non-blok anti-Bandung memfitnah Indonesia sebagai bangsa yang suka membikin onar dan tidak mau hidup berdampingan secara damai.
Sebaliknya mereka menjadikan konsepsi non-blok mereka yang tidak anti-imperialis itu sebagai penganjur koeksistensi damai yang sejati. Mereka memfitnah prinsip-prinsip dan semangat Bandung sebagai garis politik yang mau perang saja, sedangkan konsepsi non-blok mereka sajikan sebagai politik perdamaian yang sejati.
Amat menarik dalam hubungan ini, bahwa pers di negeri-negeri imperialis umumnya mengkualifikasi Indonesia dan Presiden Sukarno yang menjadi pelaksana utama dari prinsip Bandung sebagai “the trouble maker of Asia” (tukang bikin ribut di Asia), sedangkan mendiang Nehru pelaksana utama dari politik non-blok munafik sebagai “the great leader of Asia” (pemimpin besar Asia).
Menjadi jelas pula kiranya mengapa negara-negara non-blok seperti Yugoslavia dan India itu bersikap membela dan memihak kepada negara boneka “Malaysia” dan mengutuk serta memusuhi politik konfrontasi Indonesia.
Saya berpendapat bahwa semangat Bandung mewakili pelaksanaan dari semboyan patriotik “kita cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”, sedangkan non-blok munafik mewakili pelaksanaan dari semboyan abstrak “kita cinta damai” titik.
Dua aspek non-blok
Demikian kita melihat adanya dua aspek dalam konsepsi non-blok. Satu aspek ialah aspek yang berhasrat dan bersemangat jujur dan patriotik untuk sungguh-sungguh berdiri sendiri bebas dari dominasi ikatan-ikatan eksternal negara-negara imperialis, seperti yang kita kenal banyak dianut oleh negara-negara Afrika yang baru merdeka. Aspek yang lain ialah aspek reaksioner yang menipu dan sesungguhnya dalam hakikatnya merupakan suatu politik neo-kolonialis dalam skala internasional.
Sedangkan negara-negara non-blok dari aspek yang progresif adalah kawan seperjuangan sejati dari Indonesia dan negara-negara Bandung, maka negara-negara non-blok dari aspek yang reaksioner sesungguhnya merupakan pembantu-pembantu politik dari imperialisme untuk melunakkan, untuk menipu dan menyelewengkan semangat Bandung, dan oleh karenanya bukan merupakan sahabat-sahabat perjuangan Indonesia.
Adanya aspek progresif dari negara-negara non-blok sesungguhnya merupakan suatu gejala politik yang bersifat sementara. Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara ini akan mengambil salah satu jalan perkembangan dari dua alternatif yang tersedia, yaitu atau mengambil jalan ke arah politik non-blok yang reaksioner, atau mengambil jalan yang progresif sesuai dengan semangat Bandung, sesuai dengan konsepsi NEFO kontra OLDEFO.
Konferensi non-blok sebagai forum konfrontasi
Dalam keadaan demikian, dapat dipahami apabila Pemerintah Indonesia bersikap menerima undangan untuk ikut serta dalam konferensi non-blok, dengan pendirian bahwa bagi Indonesia konferensi itu merupakan forum internasional untuk melakukan konfrontasi politik dan memenangkan prinsip-prinsip dan semangat politik luar negeri Indonesia seperti sudah diuraikan di atas, sehingga mengiri wadah yang dinamakan non-blok itu dengan semangat Bandung. Hanya dengan demikian, tiap-tiap konferensi negara-negara non-blok bisa ditransformasi menjadi komponen yang komplementer dan pelengkap bagi perjuangan untuk ide-ide Bandung.
Adalah sangat menggembirakan bahwa KTT non-blok di Kairo telah mencapai sukses besar. Bung Karno dengan pidatonya “The Era of Confrontation” telah berhasil dengan gemilang memenangkan panji revolusioner dan anti-nekolim dari politik luar negeri Indonesia untuk memperkokoh NEFO berporoskan AAA melawan nekolim, untuk revolusi, kemerdekaan nasional, dan perdamaian dunia.
Politik non-blok munafik dan politik koeksistensi yang berkapitulasi kepada nekolim dan yang dipelopori oleh Yugoslavia dan India, mengalami kegagalan yang memalukan.
Semangat KTT Kairo seperti yang didemonstrasikan oleh semangat delegasi negara-negara AAA pada umumnya adalah benar-benar semangat zaman kita sekarang, ialah The Era of Confrontation.
2. TENTANG KOEKSISTENSI SECARA DAMAI
Salah satu masalah lagi yang juga aktuil dewasa ini adalah masalah koeksistensi secara damai, atau hidup berdampingan secara damai antara negara-negara dengan sistem sosial dan politik yang berbeda-beda. Sebagaimana terhadap masalah non-blok, terhadap inipun ada dua pendirian yang berbeda, yang munafik dan yang progresif.
Pendirian yang munafik mengertikan koeksistensi secara damai itu dalam pengertian yang absolut, sehingga katanya, pun terhadap imperialisme yang menghisap, menindas, mengagresi secara tidak damai terhadap Rakyat-Rakyat tetap harus berlaku koeksistensi secara damai. Yang progresif adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Presiden Sukarno dalam KTT Non-Blok di Kairo baru-baru ini. Mengingat pentingnya bagian pidato tersebut agar bisa memberikan arti dan isi yang tepat terhadap koeksistensi secara damai maka akan saya kutip dengan agak panjang:
“Pada mulanya seperti saudara-saudara ketahui, koeksistensi secara damai merupakan suatu istilah yang dihubungkan dengan perang ideologi, yakni perang antara ideologi-ideologi kapitalis dan komunis.....Di Beograd sudah saya katakan bahwa perselisihan ideologis tidak perlu mengakibatkan ketegangan, tidak boleh mengakibatkan ketegangan. Oh tidak! Dalam abad kita, ideologi-ideologi tidak akan menimbulkan perselisihan antara negara-negara besar yang mengantar ke arah suatu perang dunia. Apa yang membahayakan perdamaian dunia ialah perselisihan mengenai kepentingan-kepentingan nasional di bidang internasional, baik secara bilateral maupun multilateral. Inilah sumber-sumber dari mana suatu perang dunia dapat berkobar.”
“Perselisihan ideologi hanyalah suatu samaran untuk melibatkan mereka yang tidak berdosa di satu atau lain pihak, karena kekuatan-kekuatan imperialis berusaha atau mencoba untuk mempertahankan dominasi mereka atas dunia.....Sudah tentu soal dalam acara ini perlu mendapat perhatian kita sepenuhnya, tapi saya kemukakan dalam suatu arah yang lain.....Dan masalah itu, ialah masalah koeksistensi secara damai yang gawat antara kekuatan-kekuatan penjajah yang lama dan negara-negara baru yang sedang berkembang. Perkenankanlah saya untuk mengemukakan beberapa persoalan untuk menunjukkan kepada Saudara-Saudara ke arah mana pikiran-pikiran saya membelok.”
“Bagaimana sesuatu bangsa dapat hidup berdampingan secara damai dengan sesuatu kekuatan asing yang mendominasi politiknya? Bagaimana suatu bangsa bisa hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara yang mencegahnya dari membangun sistem sosial dan ekonomi yang cocok dengan kepribadian nasionalnya? Lihatlah basis-basis militer yang tersebar di seluruh dunia!.....”
“Pangkalan-pangkalan asing ini Saudara-Saudara, dikatakan untuk maksud membendung arus ideologi-ideologi asing. Tapi ini adalah omong kosong! Lihatlah bagaiaman mereka dipergunakan sekarang. Mereka itu dipergunakan terhadap negara-negara yang baru berkembang. Mereka dipergunakan untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tata tertib imperialis yang lama. Mereka dipergunakan sebagai alat utama kepentingan-kepentingan imperialis di negeri-negeri yang baru berkembang.”
“.....Bagaimana koeksistensi damai dapat dilaksanakan dalam peristiwa-peristiwa yang demikian itu. Ah tidak! Koeksistensi damai bukanlah masalah antara negara-negara yang kekuatannya sama. Koeksistensi damai adalah masalah antara negara-negara yang kekuatannya tidak sama, terutama karena kekuatan-kekuatan imperialis menggunakan kekuatan-kekuatan mereka untuk mendominasi negara yang sedang berkembang yang lebih lemah. Agar koeksistensi damai dapat dilaksanakan, syarat-syarat bagi pelaksanaannya haruslah diletakkan, seperti halnya Moskow dan Washington telah meletakkan syarat-syarat, karena koeksistensi damai tidaklah daoat dipaksakan! Saya ulangi: koeksistensi damai tidak dapat dipaksakan – koeksistensi damai memerlukan suatu keseimbangan, ---suatu keseimbangan kekuatan. Koeksistensi damai bukanlah suatu/paham untuk dilaksanakan secara dibuat-buat tanpa mempedulikan segala sesuatu apapun. Koeksistensi damai harus dan selalu harus dilaksanakan dengan syarat kekuatan yang nyata.”
“Koeksistensi damai antara kita, negara-negara yang sedang berkembang, dan negara-negara imperialis akan bisa diadakan hanya apabila kita dapat menghadapi mereka ini dengan kekuatan-kekuatan yang sama. Dan kekuatan yang sama itu kita dapat mencapainya hanya melalui setia kawan di antara kita. Janganlah sampai ada kekeliruan tentang hal itu! Kita tidak mempunyai alternatif bagi setia kawan.”
Demikianlah sedikit kutipan dari pidato Presiden Sukarno. Dengan hidup berdampingan secara damai, kita harus memperkuat diri, barisan NEFO harus diperkuat, negara-negara yang baru merdeka harus tetap diperkuat, dan kekuatan-kekuatan progresif di negara-negara kapitalis juga harus terus diperkuat.
Dari uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa koeksistensi damai tidak bisa diartikan secara mutlak. Koeksistensi secara damai tidak berarti bahwa kapitalisme harus tetap ada, bukan untuk melanggengkan sistem kapitalisme, karena tujuan kita ialah membangun dunia kembali yang bersih dari l’exploitation de l’homme par l’homme. Antara Rakyat-Rakyat jajahan dan kolonialisme dan demikian pula antara negara-negara yang baru berkembang dengan nekolim tidak mungkin diadakan koeksistensi secara damai, justru karena watak agresif dari nekolim itu sendiri.
3. PANDANGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA, BUKAN PANDANGAN GEOPOLITIK
Berhubung dengan politik luar negeri Indonesia sangat mementingkan setia kawan Asia-Afrika, ada orang yang mengira bahwa pandangan politik luar negeri Indonesia adalah pandangan geopolitik. Pikiran ini adalah keliru sekali. Faktor geografi dan alam memang memegang peranan, tetapi bukanlah faktor yang menentukan. Misalnya, sejarah umat manusia sudah mengenal adanya 5 sistem sosial, yaitu komunisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, dan Sosialisme, tetapi selama berabad-abad di mana sistem sosial itu berubah-ubah, negeri-negeri besar timbul dan tenggelam di berbagai bagian dunia, pusat-pusat peradaban berpindah-pindah, tapi geografi dan alam pada pokoknya tidak berubah.
Geopolitik, pada asasnya adalah satu pandangan penggunaan ilmu bumi untuk menentukan strategi dan politik bertujuan membenarkan ekspansi bagi negara-negara imperialis, dan sebaliknya bagi negara-negara yang menjadi objek ekspansi imperialis itu geopolitik bertujuan membenarkan kapitulasi atau politik menyerah kepada ekspansi imperialis itu. Karena itu geopolitik sepenuhnya merupakan pandangan yang mengabdi kepada imperialisme.
Salah seorang eksponen utama pandangan geopolitik ini ialah Sir Hafford John Mac Kinder (1861-1947) seorang ahli ilmu bumi Inggris. Menurut teori Mac Kinder siapa yang berhasil menguasai apa yang dia namakan “bulan sabit luar” (outer crescent), yaitu kepulauan-kepulauan yang berdekatan dengan pantai daratan luas Eropa-Asia (Inggris sendiri, lautan Tengah, kepulauan-kepulauan di lautan Hindia, kepulauan Indonesia, Filipina, sampai ke Jepang), dan juga dapat menguasai apa yang dinamakan “bulan sabit dalam” (inner crescent), yaitu negara-negara yang terletak di tepi daratan luar Asia-Eropa itu (termasuk Eropa, Timur Tengah, India, dan Tiongkok), akan berhasil pula menguasai apa yang dinamakan “daerah poros”, “daerah jantung” atau “heart-land”, yaitu Rusia (sekarang Uni Soviet), dan akan juga berhasil menguasai seluruh dunia.
Pandangan geopolitik juga dipergunakan oleh seorang militeris Jerman, Karl Haushofer (1869-1946), seorang inspirator utama politik ekspansionisme kaum fasis Jerman. Berdasarkan suatu pembagian dunia yang secara sewenang-wenang dia mendesak supaya dunia ditempatkan di bawah kekuasaan Jerman dan Jepang.
Kaum militeris Amerika Serikat juga sangat sibuk dengan perkembangan pandangan geopolitik, misalnya Nichols Spykman, yang justru banyak mempergunakan teori Mac Kinder untuk mengilhami politik agresi AS guna mengepung Uni Soviet dengan pangkalan-pangkalan perang dan guna berusaha menghancurkan negeri Sosialis itu.
4. PANDANGAN GEOPOLITIK MENGEBIRI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG ANTI-IMPERIALIS
Pandangan geopolitik mengebiri politik luar negeri kita karena meniadakan ciri-ciri anti-imperialisme yang merupakan ciri terpokok. Soal menjadi tetangga, demikian pula soal persamaan ras atau berasal dari satu rumpun bangsa tidak bisa dipergunakan sebagai dasar politik luar negeri kita. Hendaknya hal ini diperhatikan benar-benar dalam menghadapi usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk mencapai kerja sama yang berbentuk suatu konfederasi yang dinamakan Maphilindo. Sudah jelas, bahayanya ialah bahwa dasar “tetangga”, “satu ras”, atau “berasal dari satu rumpun bangsa” berarti mengebiri politik konfrontasi kita terhadap komplotan agresif kaum imperialis dengan kaum reaksioner Malaya yang mendirikan proyek neo-kolonial “Malaysia”. Ia juga berarti mengebiri politik dukungan penuh “as a matter of principle” terhadap proklamasi kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara pada tanggal 8 Desember 1962. Sebaliknya, walaupun Kuba jauh letaknya dari Indonesia, tetapi karena persamaan tujuan perjuangan kedua Rakyat kita saling menyokong. Tetapi dengan “Malaysia” yang secara geografis sangat dekat, kita sedang ganyang-ganyangan sekarang ini.
Bahwasanya pandangan geopolitik mengakibatkan politik menyerah kepada agresi imperialis dapat pula kita lihat dari kesimpulan yang ditarik oleh Jenderal Mayor Simatupang dalam bukunya Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai di mana dia menulis bahwa “sebagai negara maritim harus juga kita usahakan hubungan persahabatan dengan negara-negara yang menguasai lautan di sekitar negeri kita” (halaman 149). Kesimpulan ini sungguh suatu kesimpulan yang menimbulkan kemarahan dalam hati tiap-tiap patriot Indonesia. Siapa negara yang menguasai lautan di sekitar negeri kita kalau bukan negara-negara SEATO? Politik macam apa ini, yang menetapkan bahwa kita harus bersahabat dengan negara-negara SEATO, dengan alasan bahwa mereka mengelilingi negeri kita? Tak lain, ini politik kapitulasi kelanjutan daripada politik luar negeri Syahrir-Hatta. Padahal, justru karena negara-negara SEATO mengelilingi kita, kita harus menganggap mereka sebagai musuh yang berbahaya. Bukankah sikap kapitulasi ini suatu tantangan tegas terhadap Rakyat Indonesia yang sudah sejak dahulu menolak untuk mengadakan persahabatan dengan SEATO, yang menolak dengan tegas untuk diseret ke dalam blok SEATO yang imperialis dan agresif itu?
Menjawab soal ini, Bung Karno dalam Tavip berkata sebagai berikut: “Tetapi apakah dengan bebasnya Irian Barat, Republik Indonesia sudah aman dan bebas dari ancaman-ancaman imperialis? Tidak, jauh daripada itu! ‘Malaysia’ masih ‘dipasang’ di depan pintu RI. ‘Malaysia’ masih membentang di muka rumah Republik Indonesia, sebagai anjing penjaga imperialisme. Pakta-pakta militer yang ada di seputar kita baru-baru inipun ikut-ikut pula membicarakan soal kita, tapi zonder seizin kita! Kita dikepung terang-terangan oleh kaum imperialis dari segala jurusan!
“Tetapi kita tidak gentar, kita tidak takut. Memang Saudara-Saudara jangan gentar, jangan takut! Berjalanlah terus, hantamlah terus, ganyanglah terus ‘Malaysia” itu meski ia ditolong dan dibantu oleh sepuluh imperialis sekalipun!” (Tavip, halaman 34).
5. SYARAT PELAKSANAAN POLITIK LUAR NEGERI
Politik luar negeri kita yang sudah tepat sekarang hanya dapat dilaksanakan dengan tepat pula, jika kita tidak henti-hentinya menciptakan dan mengkonsolidasi syarat-syarat yang diperlukan untuk itu, yaitu:
Pertama, persatuan nasional revolusiner berporoskan Nasakom di dalam negeri. Inilah kekuatan utama untuk menciptakan empat syarat lainnya.
Kedua, front internasional anti-imperialis yang kuat (front NEFO).
Ketiga, bebas atau soverein dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Selama di bidang ekonomi kita belum berdiri di atas kaki sendiri, masih banyak hutang dan masih tergantung dari luar negeri, selama itu kebebasan kita dalam politik dan kepribadian kita dalam kebudayaan akan terganggu. Sebagai contoh dapat disebut bahwa dilihat dari segi prinsip politik luar negeri kita, kita harus berhubungan yang mesra dengan Republik Demokrasi Jerman (RDJ) sebagai negara NEFO, tetapi karena ketergantungan di bidang ekonomi, kita lebih mesra dengan Republik Federasi Jerman (RFJ) ynag termasuk OLDEFO. Dengan RDJ kita hanya ada hubungan Konsulat Jenderal, sedang dengan RFJ hubungan Kedutaan Besar,
Keempat, mengikutsertakan Rakyat dalam kegiatan politik luar negeri. Pemerintah selamanya akan berhasil dalam politik luar negeri jika pemerintah dengan sadar menggunakan sistem konsultasi dengan Rakyat melalui DPR-GR dan organisasi-organisasi Rakyat.
Kelima, pelaksana-pelaksana politik luar negeri yang Manipolis, sesuai dengan perincian DPA tentang Manipol, bahwa soal realisasi sangat tergantung pada orang-orang yang diberi tugas untuk melaksanakannya.
Kelima syarat ini harus diciptakan dan dikonsolidasi terus-menerus, karena hanya dengan syarat-syarat ini, politik luar negeri kita yang sudah tepat sekarang akan dapat dilaksanakan dengan tepat dan sukses besar.
Mengenai syarat kelima, tentang arti penting dari pelaksana-pelaksana baiklah diingat perumusan DPA tentang hal ini ketika DPA memerinci Manipol: “Walaupun Manifesto Politik adalah sangat penting karena telah menjawab persoalan-persoalan pokok revolusi, dan telah mengemukakan usaha-usaha pokok untuk menyelesaikan revolusi Indonesia, tetapi realisasinya sangat tergantung pada orang-orang yang diberi tugas untuk melaksanakannya” (Tubapi, halaman 93).
Bung Karno sendiri seringkali mengatakan “Ten slotte beslist de mens” (Pada akhirnya manusialah yang menentukan).
Oleh karena itu, para pembantu Presiden di bidang politik luar negeri, baik yang di Deparlu maupun yang di Perwakilan-Perwakilan RI di luar negeri, harus benar-benar menjaga agar pelaksana-pelaksana politik luar negeri bersih dari unsur-unsur partai terlarang dan haruslah patriot dan Manipolis sejati, yang sepenuhnya setuju dengan garis-garis politik luar negeri RI dewasa ini. Dan tepatlah apa yang disimpulkan dalam Membangun Dunia Kembali, bahwa: “Perlu diadakan retooling dalam dinas diplomatik Republik Indonesia terhadap aparatur-aparatur pelaksana politik luar negeri, yang suka berkompromi dengan imperialisme, birokrat-birokrat yang berjiwa kintel yang konservatif reaksioner dalam soal politik luar negeri, yang tidak berjiwa Manipol-Usdek” (Tubapi, halaman 292).
KESIMPULAN
Perkembangan dunia dewasa ini ditandai oleh 4 kontradiksi dasar. Rakyat-Rakyat di seluruh dunia, di negeri-negeri kubu sosialis, di negeri yang baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan di negeri-negeri di mana kaum imperialis masih memegang kekuasaan negara, dewasa ini sedang giat sekali, lewat berbagai bentuk perjuangan, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini.
Arah perkembangan dunia dan perspektif perjuangan Rakyat sedunia adalah baik dan gemilang, yaitu dunia baru, dunia Sosialis, dunia yang bebas dari l’exploitation de l’homme par l’homme.
Asia, Afrika, dan Amerika Latin, mengingat kekhususan-kekhususan perjuangan Rakyat dan lemahnya mata rantai imperialisme di benua-benua ini, mengambil kedudukan yang khas dalam perjuangan universal menggempur imperialisme dunia. Asia, Afrika, dan Amerika Latin merupakan poros dari segenap kekuatan baru yang sedang tumbuh, poros NEFO.
Seudah Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai negara kapitalis yang terkuat dan menduduki posisi yang dominan dalam dunia kapitalis. Amerika Serikat telah menjadi pusat reaksi dunia dan agresi. Ciri-ciri khsuus yang ada pada AS dalam perkembangan dunia kapitalis menyebabkan bahwa AS dewasa ini merupakan poros OLDEFO. Sistem kolonial daripada imperialisme dunia mengalami proses keruntuhan dan kehancuran.
Rakyat di mana-mana di dunia sekarang sedang bangkit melakukan perjuangan revolusioner menggempur imperialisme yang kepalanya adalah AS. Pukulan-pukulan kuat dan bertubi-tubi yang diberikan oleh perjuangan Rakyat revolusioner ini membikin AS makin terdesak ke sudut dan terisolasi.
Dalam perjuangan revolusioner ini, Asia Tenggara mengambil tempat yang istimewa. Tingkat perjuangan Rakyat-Rakyat yang tinggi di daerah ini dalam melawan agresi, intervensi, dan subversi kaum imperialis yang dikepalai oleh AS membikin Asia Tenggara menjadi pusat teleng kontradiksi-kontradiksi dunia. Kemenangan revolusi Asia Tenggara akan mengakibatkan kebobolan yang besar dalam benteng imperialisme dunia, dan ini berarti banjirnya revolusi dunia, berarti sumbangan yang besar bagi pembangunan dunia kembali.
Revolusi Indonesia memainkan peranan yang penting dalam gerakan revolusioner membobol perkubuan imperialisme dunia di Asia Tenggara. Revolusi Indonesia yang sukses akan merupakan mercusuar, tidak saja bagi perjuangan kemerdekaan penuh dari Rakyat-Rakyat Asia Tenggara, tetapi juga bagi perjuangan-perjuangan revolusioner Rakyat-Rakyat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada umumnya.
Untuk menyukseskan revolusi Indonesia, adalah perlu dan penting sekali, dan adalah satu keharusan untuk juga menjalankan politik luar negeri yang Manipolis. Dan untuk menjalankan dengan konsekuen politik luar negeri yang Manipolis perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu, terutama syarat politik yang dapat lebih memperkuat front nasional yang berporoskan Nasakom dan dapat lebih memperkokoh front internasional anti-imperialisme, untuk revolusi, kemerdekaan nasional bangsa-bangsa, dan perdamaian dunia.