Seratus tujuh puluh lima tahun yang lalu, Marx dan Engels menulis Manifesto Partai Komunis. Karya gemilang ini telah melalui perjalanan panjang, tetapi pemikiran-pemikiran pokoknya tidak hanya masih relevan di dunia hari ini tetapi bahkan telah menjadi lebih matang secara historis. Setiap kali kelas penguasa memproklamirkan kematian Komunisme dan menulis obituarinya, yang telah dilakukannya berkali-kali dengan begitu keras kepala, realitas hidup dari kapitalisme itu sendiri menegaskan kebenaran hakiki yang terkandung dalam karya ini. Hampir tidak ada karya lain dalam sejarah umat manusia yang memiliki kekuatan historis sepertinya, kekuatan riil yang dalam sejarahnya telah – dan masih terus – menggerakkan manusia dan mengubah sejarah. Terutama hari ini ketika kapitalisme tengah memasuki periode krisis yang mendalam, ada keperluan mendesak untuk memperbaharui dan menyempurnakan terjemahan bahasa Indonesia Manifesto Komunis, agar pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya menjadi lebih terang bagi generasi baru Komunis yang tengah memasuki arena sejarah.
Edisi bahasa Indonesia pertama Manifesto Partai Komunis diterjemahkan oleh Partondo, editor koran PKI Soeara Ra’jat, dan diterbitkan pertama kalinya pada April 1923 sebagai serial dalam koran Soeara Ra’jat. Edisi kedua diterjemahkan oleh Axan Zain atau Subakat pada 1925. Tahun-tahun itu, 1920an, adalah masa kebangkitan revolusioner pertama rakyat Indonesia, di satu sisi kebangkitan proletar yang mulai menemukan jati diri kelasnya, dan di sisi lain kelahiran kesadaran nasional dari sebuah bangsa yang selama 3 abad dijajah. Penerbitan Manifesto Komunis di Indonesia oleh karenanya menjadi petanda penting bagi perubahan besar dalam alur sejarah Indonesia. Bukan kebetulan pula kalau sedari awal Engels telah mengomentari relasi antara penerbitan Manifesto Komunis dengan perkembangan kapitalisme dan kebangkitan gerakan buruh yang menyertainya. Dalam kata pengantarnya untuk edisi Polandia, Engels menulis dengan profetik:
“Patut dicatat bahwa belakangan ini Manifesto Komunis telah menjadi indeks perkembangan industri skala besar di benua Eropa. Sebanding dengan meluasnya industri skala besar di sebuah negeri tertentu, semakin besar pula tuntutan di antara buruh negeri tersebut untuk memahami posisi mereka sebagai kelas buruh sehubungan dengan kelas-kelas yang berpunya, semakin gerakan sosialis menyebar di antara buruh, dan semakin besar permintaan akan Manifesto. Oleh karenanya, tidak hanya situasi gerakan buruh saja tetapi juga tingkat perkembangan industri skala-besar dapat diukur dengan cukup akurat di setiap negeri dari jumlah buku Manifesto yang beredar dalam bahasa negeri tersebut.”
Manifesto Komunis tiba di bumi Indonesia bersamaan dengan gelombang revolusioner pertama kelas proletariat. Dengan surutnya gelombang revolusi ini, yang ditandai dengan ditumpasnya PKI dalam pemberontakan 1926-27, Manifesto praktis menghilang dari muka publik. Selama hampir dua dekade Manifesto, dan apa yang tersisa dari kekuatan Komunis yang luluh lantak, terpaksa menjalani kehidupan bawah tanah yang teramat kejam. Ia hanya muncul kembali dengan meletusnya Revolusi Indonesia 1945. Untuk merayakan 100 tahun Manifesto Komunis, dan juga menandai kemunculan kembali PKI dan menegaskan otoritasnya sebagai partai yang meneruskan gagasan Marx, pada 1948 PKI menerbitkan terjemahan baru Manifesto, yang dikerjakan oleh D.N. Aidit, M.H. Lukman, A. Havil, P. Pardede dan Njoto. Edisi ketiga ini dicetak ulang oleh badan penerbitan PKI, Jajasan Pembaruan, dengan sejumlah perbaikan pada 1952, 1959, 1960 dan 1964.
Seperti pada kemunculan pertamanya, kemunculan kedua Manifesto ini merupakan petanda periode revolusi yang dimasuki oleh masyarakat Indonesia. Yang membedakannya adalah PKI kali ini telah menjadi partai massa. Bila pada 1923 PKI hanyalah partai dengan sekitar 1000 anggota, maka selama periode revolusioner 1950-60an PKI pada puncaknya memiliki 3 juta anggota dan 10 juta massa di belakangnya. Tiga dekade yang memisahkan dua periode tersebut tidak berjalan dengan sia-sia. Kapitalisme yang semakin matang telah menciptakan batalion proletariat yang tidak hanya lebih besar tetapi juga lebih dewasa secara politik. Revolusi Komunis sungguh ada di ambang pintu, dan seperti yang diwartakan oleh Manifesto, “Biarlah kelas penguasa gemetar di hadapan revolusi Komunis.”
Namun G30S pada 1965 mengubah segalanya. Kepemimpinan PKI – termasuk di antaranya adalah penerjemah edisi 1949: Aidit, Lukman dan Njoto – terbukti tidak memadai untuk memimpin Revolusi Indonesia sampai ke kesimpulan akhirnya. Di sini bukan tempatnya untuk menelaah secara rinci penyebab kekalahan tragis ini; tetapi ringkasnya, Stalinisme dalam gerakan Komunis “resmi” telah mengebiri pemikiran revolusioner Marx, seperti yang dilakukan oleh Sosial Demokrasi pada 1914, dan membawa proletariat ke kekalahan terbesarnya.
Manifesto cetakan-ulang 1964 terjemahan Aidit dkk. menjadi edisi terakhir, edisi penutup dari sebuah era yang penuh dengan keberanian. Manifesto harus kembali ke bawah tanah, untuk waktu yang lebih lama, selama periode absolutisme yang bahkan lebih kejam dan tak mengenal belas kasihan. Kapital menang dalam pertempuran itu dengan menumpahkan darah jutaan rakyat yang secara harfiah mengenangi seluruh sungai di Indonesia.
Pada 1989-91, Tembok Berlin roboh dan Uni Soviet runtuh. Tampaknya Kapital telah memenangkan seluruh perang kelas. Merujuk pada apa yang Marx dan Engels tulis dalam Manifesto, bahwa “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas,” maka dengan runtuhnya Uni Soviet kelas penguasa dengan penuh keyakinan mengumumkan berakhirnya perjuangan kelas, berakhirnya sejarah. Krisis dan revolusi adalah barang masa lalu. Manifesto Komunis tampaknya kini akan sungguh-sungguh sirna, dan hanya menjadi catatan kaki sejarah, keganjilan sejarah, kekeliruan semata dalam penalaran manusia yang belum dewasa. Manusia yang paling sempurna “Nalar Praktis”nya adalah Manusia Kapital. Tetapi sejarah itu keras kepala dan menolak ditundukkan oleh Kapital. Proletariat, sang penggali kubur kapitalisme, masih ada dan menolak tunduk pula.
Krisis finansial Asia 1997-98, serta Revolusi Indonesia yang menyertainya, membuyarkan mimpi Akhir Sejarah kaum borjuis. Sejarah perjuangan kelas masih terus bergulir. Revolusi 1998 mengakhiri rejim Orde Baru yang paling kejam dan membuka pintu dam besar. Penerbit-penerbit independen bermunculan seperti jamur dan menerbitkan karya-karya Marx dan Engels yang sebelumnya dilarang oleh militer, termasuk Manifesto edisi 1948 yang telah lama mengembara di bawah tanah. Ada rasa haus di antara generasi muda baru untuk mempelajari karya-karya Marx dan Engels. Namun sayangnya, sampai hari ini, sepanjang kami ketahui, belum ada usaha untuk menyempurnakan terjemahan Manifesto Komunis. Walaupun edisi 1948 jelas adalah perbaikan besar dari edisi 1925, edisi 1948 ini masihlah jauh dari sempurna. Beberapa konsep diterjemahkan dengan kurang tepat, atau dengan cara yang tidak terlalu jelas. Ini berlaku juga bagi banyak karya Marxis klasik lainnya, yang kualitasnya sayangnya tidak sebanding dengan kuantitas yang diproduksi. Oleh karenanya, ada keperluan mendesak untuk menghasilkan edisi baru Manifesto.
Dunia tengah berubah dengan kecepatan yang tak pernah terlihat sebelumnya. Menyusul krisis Asia, dunia dihantam oleh krisis global 2007-08, yakni krisis terdalam sepanjang sejarah kapitalisme, yang dampaknya masih terasa sampai hari ini. Sejak itu, krisis demi krisis terus mengguncang kapitalisme. Tidak ada lagi kestabilan. Kapitalisme tidak bisa melarikan diri dari krisis, seperti yang dijelaskan oleh Manifesto Komunis:
“Kita cukup menyebut krisis-krisis komersial, yang terjadi secara periodik dan mengancam eksistensi seluruh masyarakat borjuis, dan setiap kalinya semakin mengancam.”
Tetapi hari ini kita tidak hanya sedang menyaksikan krisis komersial seperti biasanya, dengan siklus boom-and-bust. Tidak. Kapitalisme tengah memasuki krisis organik yang berdampak pada semua aspek kehidupan: ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan intelektual. Semuanya stagnan dan membusuk. Kaum borjuis dipenuhi dengan pesimisme, kendati kekuatan produktif raksasa yang telah diciptakan oleh sistemnya. Mengapa? Karena, seperti kata Marx, “Kondisi-kondisi masyarakat borjuis terlalu sempit untuk mewadahi kekayaan yang diciptakan olehnya.”
Ketika kapitalisme hanya dapat menghasilkan kemiskinan, kelaparan dan perang, ketika kapitalisme telah menyeret umat manusia ke gerbang pintu barbarisme, maka hantu Komunisme akan terus berkeliaran dan bahkan semakin mewujud. Fakta ini diakui oleh borjuasi dan membuat mereka gemetar ketakutan. Inilah mengapa pada tahun ini larangan terhadap penyebaran gagasan Komunisme dikodifikasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru. Namun, tidak akan ada satupun perangkat hukum yang bisa menghentikan gagasan yang memang sudah waktunya tiba.
Edisi baru Manifesto ini diterjemahkan dari Manifesto of the Communist Party edisi bahasa Inggris tahun 1888, yang dimuat di Marx and Engels Collected Work terbitan Lawrence & Wishart. Edisi bahasa Jerman dan Prancis juga digunakan untuk menyempurnakan terjemahan ini. Penerjemah berharap edisi yang baru ini, yang hadir di bumi Indonesia 175 tahun setelah kelahiran Manifesto, dapat menjadi satu lagi persenjataan ideologis bagi kaum buruh dan muda revolusioner hari ini untuk mewujudkan cita-cita masyarakat tanpa kelas, yang bebas dari penindasan.
Ted Sprague
1 November 2023