Tulisan berikut ini terbit sebagai suatu seri tajuk-rencana dalam Neue Rheinische Zeitung[1] dari tanggal 4 April 1849 seterusnya. Tulisan itu berdasarkan ceramah-ceramah yang diucapkan oleh Marx pada tahun 1847 di muka Perkumpulan Buruh Jerman di Brussel. Tulisan sebagaimana yang telah tercetak ini tetap merupakan sebagian; perkataan pada akhir nomor 269: “Akan disambung,” tetap tak terpenuhi disebabkan oleh kejadian-kejadian yang pada waktu itu datang menyesak susul-menyusul: serbuan terhadap Hongaria oleh Rusia, pemberontakan-pemberontakan di Dresden, Iserlohn, Elberfeld, Palatin dan Baden, yang menyebabkan diberangusnya surat kabar ini sendiri (19 Mei 1849). Naskah sambungannya tak diketemukan di antara surat-surat peninggalan Marx setelah dia wafat.
Kerja-upahan dan Kapital telah terbit dalam sejumlah edisi sebagai penerbitan yang tersendiri dalam bentuk brosur, yang terakhir diterbitkan dalam tahun 1884, oleh Koperasi Percetakan Swiss, Hottingen-Zurich. Edisi-edisi yang diterbitkan hingga kini memegang teguh redaksi persis menurut aslinya. Tetapi edisi baru yang sekarang ini harus diedarkan tidak kurang dari 10.000 eksemplar sebagai suatu brosur propaganda, dan dengan demikian maka tak dapat tidak timbul masalah pada saya apakah dalam keadaan-keadaan ini Marx sendiri akan menyetujui suatu reproduksi aslinya dengan tiada perubahan.
Dalam tahun empat puluhan, Marx masih belum menyelesaikan kritiknya terhadap ekonomi politik. Kritik ini baru selesai menjelang akhir tahun lima puluhan. Karena itu, tulisan-tulisannya yang terbit sebelum bab pertama dari Sumbangan kepada Kritik tentang Ekonomi Politik (1859) dalam beberapa hal berbeda dengan yang ditulis sesudah tahun 1859, dan berisi pernyataan-pernyataan dan kalimat-kalimat seluruhnya yang, dilihat dari sudut tulisan-tulisan kemudian, tampaknya kurang kena dan bahkan tidak tepat.
Sudah barang tentu dalam edisi-edisi biasa yang diperuntukan bagi umum, pendirian yang terdahulu itu mempunyai juga tempatnya, sebagai bagian dari perkembangan pikiran penulisnya, dan baik penulis maupun umum mempunyai hak yang tak dapat dibantah atas reproduksi tulisan-tulisan yang terdahulu ini dengan tak diubah. Dan saya tak akan ada niat sama sekali untuk mengubah sepatah katapun darinya.
Lain soalnya bilamana edisi baru itu praktis diperuntukkan semata-mata untuk propaganda di kalangan kaum buruh. Dalam hal yang demikian itu sudah tentu Marx akan menyelaraskan penguraian lama yang bertanggal tahun 1849 dengan pendiriannya yang baru. Dan saya merasa yakin bertindak sebagaimana yang akan diperbuatnya dalam mengusahakan untuk edisi ini beberapa perubahan dan tambahan yang diperlukan guna mencapai tujuan ini dalam semua hal yang penting-penting. Karena itu, sebelumnya saya katakan kepada pembaca: ini bukanlah brosur seperti yang ditulis Marx pada tahun 1849 tetapi kira-kira seperti yang akan ditulisnya pada tahun 1891. Lagipula, naskah yang sebenarnya, telah diedarkan dalam sedemikian banyak eksemplar sehingga akan mencukupi sampai saya dapat mencetaknya lagi, dengan tak diubah-ubah, dalam edisi yang lengkap kelak.
Perubahan-perubahan saya semuanya berkisar pada satu hal. Menurut aslinya, buruh menjual kerjanya kepada kapitalis untuk mendapatkan upah; menurut naskah yang sekarang ini dia menjual tenaga-kerjanya. Dan untuk perubahan ini saya merasa wajib memberikan penjelasan itu kepada kaum buruh agar mereka dapat mengerti bahwa ini bukan soal main sulap dengan kata-kata belaka melainkan salah satu dari hal yang terpenting dalam seluruh ekonomi politik. Saya merasa wajib memberikan penjelasan itu kepada kaum borjuis, supaya mereka dapat meyakinkan diri betapa sangat lebih unggulnya kaum buruh yang tak terdidik itu, yang orang dengan mudah dapat membuat mereka memahamkan analisa-analisa ekonomi yang paling sukar itu, dari “orang-orang terpelajar” kita juga sombong yang baginya soal-soal yang berseluk beluk itu tetap tinggal tak terpecahkan seumur-hidupnya.
Ekonomi politik klasik[2] mengoper dari praktek industri, konsepsi tuan-pabrik yang berlaku sekarang, yaitu bahwa dia membeli dan membayar kerja kaum buruhnya. Konsepsi ini cukup sekali bagi keperluan-keperluan dagang, pembukuan dan perhitungan-perhitungan harga tuan-pabrik. Tetapi, secara naif dioperkan ke ekonomi politik, di situ konsepsi ini menimbulkan kesalahan-kesalahan dan keruwetan-keruwetan yang benar-benar ajaib.
Ilmu ekonomi melihat kenyataan bahwa harga semua barang dagangan, di antaranya juga harga barang-dagangan yang dinamakan “kerja”, senantiasa berubah; bahwa harga-harga itu naik
turun sebagai akibat dari keadaan yang sangat bermacam-macam, yang kerapkali tidak mempunyai hubungan apapun dengan produksi barang-dagangan itu sendiri, sehingga harga tampaknya, biasanya, ditentukan oleh kebetulan belaka. Kemudian, segera setelah ekonomi politik muncul sebagai suatu ilmu[3] salah satu dari tugasnya yang pertama ialah mencari hukum yang tersembunyi di belakang kebetulan ini yang kelihatannya mengatur harga barang-dagangan dan yang, sesungguhnya, mengatur justru kebetulan ini. Di dalam harga-harga barang-dagangan, yang senantiasa bergoyang dan berayun, sebentar naik sebentar turun, ekonomi politik mencari titik pusat yang tetap di sekitar mana berkisar goyangan dan ayunan itu. Pendeknya, ekonomi politik mulai dari harga barang-dagangan untuk mencari nilai barang dagangan sebagai hukum yang menguasai harga, nilai dengan mana semua kegoyangan dalam harga harus dijelaskan dan yang kepadanya semuanya itu akhirnya harus dikembalikan.
Ilmu ekonomi klasik kemudian berpendapat bahwa nilai barang dagangan ditentukan oleh kerja yang terkandung di dalamnya, yang diperlukan untuk pembuatannya. Dengan penjelasan ini ia merasa puas. Dan kita juga dapat berhenti di sini untuk sementara waktu. Saya hanya hendak mengingatkan pembaca, untuk menghindari kesalahpahaman, bahwa penjelasan ini pada masa kini sudah menjadi sama sekali tidak mencukupi lagi. Marx adalah orang yang pertama-tama mengadakan penyelidikan secara mendalam mengenai sifat-pencipta-nilai dari kerja dan dalam mengadakan penyelidikan itu telah menemukan bahwa tidak semua kerja yang kelihatannya, atau bahkan yang sesungguhnya, diperlukan bagi pembuatan suatu barang-dagangan menambahkan padanya dalam segala keadaan nilai sebesar yang sesuai dengan banyaknya kerja yang dipergunakan. Karena itu, jika kita sekarang berkata begitu saja dengan ahli-ahli ekonomi seperti Ricardo bahwa nilai sebuah barang-dagangan ditentukan oleh kerja yang diperlukan untuk pembuatannya itu, kita dalam mengatakan itu senantiasa memasukkan di dalamnya syarat-syarat yang diadakan oleh Marx. Untuk di sini cukuplah sekian; selanjutnya bisa didapat dalam buku Marx Sumbangan kepada Kritik tentang Ekonomi Politik tahun 1859 dan jilid pertama Kapital.
Tetapi segera setelah ahli-ahli ekonomi mengenakan ketentuan nilai oleh kerja ini pada barang-dagangan “kerja”, mereka terjerumus ke dalam kontradiksi demi kontradiksi. Bagaimanakah nilai “kerja” itu ditentukan? Oleh kerja yang diperlukan yang terkandung di dalam barang-dagangan. Tetapi berapa banyak kerja yang terkandung di dalam kerja seorang buruh selama sehari, seminggu, sebulan, setahun? Kerja sehari, seminggu, sebulan, setahun. Jika memang kerja menjadi ukuran bagi semua nilai, maka tentulah kita dapat menyatakan “nilai kerja” hanya dengan kerja saja. Tetapi kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang nilai kerja sejam, jika kita hanya tahu bahwa nilai itu sama dengan kerja sejam. Ini tidak membawa kita seujung rambut pun lebih dekat pada tujuan; kita tetap bergerak dalam satu lingkaran.
Oleh karena itu, ilmu ekonomi klasik mencoba haluan lain. Dikatakannya: Nilai sebuah barang-dagangan adalah sama dengan biaya produksinya. Tetapi apakah biaya produksi itu kerja itu? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli ekonomi harus sedikit mengarut logika. Bukannya menyelidiki biaya produksi kerja itu sendiri, yang sayangnya tak dapat ditentukan, mereka terus menyelidiki biaya produksi buruh. Dan ini dapat ditentukan. Ia berubah-ubah menurut waktu dan keadaan, tetapi bagi suatu keadaan masyarakat tertentu, ia juga tertentu, setidak-tidaknya di dalam batas-batas yang agak sempit. Kita kini hidup di bawah kekuasaan produksi kapitalis, di mana suatu klas penduduk yang besar, yang semakin bertambah banyak, dapat hidup hanya jika ia bekerja buat pemilik alat-alat produksi–perkakas-perkakas, mesin-mesin, bahan-bahan mentah, dan bahan-bahan keperluan hidup–untuk upah. Atas dasar cara produksi ini biaya produksi buruh terdiri dari jumlah bahan-bahan keperluan hidup–atau harga bahan-bahan keperluan hidup itu menurut uang–yang rata-rata diperlukan untuk membuat dia sanggup bekerja, menjaga dia tetap sanggup bekerja, dan untuk menggantinya dengan buruh baru, setelah dia pergi karena usia tua, sakit, atau mati–artinya untuk mengembang-biakkan klas buruh dalam jumlah-jumlah yang diperlukan. Marilah kita andaikan bahwa harga menurut uang dari bahan-bahan keperluan hidup itu rata-rata tiga mark sehari.
Karena itu, buruh kita menerima upah tiga mark sehari dari si kapitalis yang mempekerjakan dia. Untuk ini, si kapitalis menyuruh dia bekerja, katakan saja, dua belas jam sehari, dengan perhitungan kira-kira sebagai berikut:
Marilah kita umpamakan bahwa buruh kita itu–seorang tukang mesin–harus membuat sebagian dari suatu mesin yang dapat diselesaikannya dalam satu hari. Bahan-bahan mentahnya–besi dan tembaga dalam bentuk yang disiapkan lebih dahulu sebagai yang diperlukan–berharga duapuluh mark. Pemakaian batubara untuk mesin uap, keausan mesin itu juga, keausan mesin-bubut dan perkakas-perkakas lainnya yang dipergunakan oleh buruh kita, bila dihitung untuk satu hari dan untuk andil buruh itu dalam penggunaan perkakas-perkakas itu, mempunyai nilai satu mark. Upah untuk sehari, menurut perumpamaan kita itu, tiga mark. Semuanya menjadi duapuluhempat mark untuk bagian mesin kita itu. Tapi si kapitalis memperhitungkan bahwa ia akan memperoleh kembali, rata-rata, duapuluhtujuh mark dari para langganannya, atau lebih banyak tiga mark dari pengeluarannya.
Darimanakah asalnya tiga mark yang dikantongi si kapitalis itu? Menurut pernyataan ilmu ekonomi klasik, barang-dagangan, rata-rata, dijual menurut nilainya, yaitu, menurut harga yang sesuai dengan jumlah kerja-perlu yang terkandung di dalam barang dagangan-barang dagangan itu. Harga rata-rata dari bagian mesin kita itu–dua puluh tujuh mark–jadi akan sama dengan nilainya, yaitu sama dengan kerja yang terwujud di dalamnya. Tetapi dari dua puluh tujuh mark ini, duapuluhsatu mark adalah nilai-nilai yang sudah ada sebelum tukang-mesin kita itu mulai bekerja. Duapuluh mark sudah terkandung dalam bahan-bahan mentah, satu mark dalam batubara yang dipakai selama pekerjaan, atau dalam mesin dan perkakas yang telah dipergunakan dalam proses dan yang efisiensinya dikurangi dengan nilai sebesar itu. Tinggallah enam mark yang telah ditambahkan pada nilai bahanbahan mentah. Tetapi menurut persangkaan para ahli ekonomi kita sendiri, enam mark ini dapat timbul hanya dari kerja yang ditambahkan pada bahan-bahan mentah oleh buruh kita. Jadi kerjanya selama duabelas jam telah menciptakan nilai baru sebanyak enam mark. Karena itu, nilai dari kerjanya selama dua belas jam, sama dengan enam mark. Dengan begitu pada akhirnya kita telah menemukan apakah “nilai kerja” itu.
“Nanti dulu!” teriak tukang-mesin kita. “Enam mark? Tapi saya menerima hanya tiga mark! Kapitalis saya bersumpah demi segala yang suci bahwa nilai kerja saya selama dua belas jam hanya tiga mark, dan kalau saya menuntut enam, dia mentertawakan saya. Bagaimana penjelasannya?”
Kalau dulu kita terjerumus dalam lingkaran yang tak berujung pangkal dengan nilai kerja kita, kini kita sungguh-sungguh tercengkam dalam suatu kontradiksi yang tak-terpecahkan. Kita mencari nilai kerja dan kita mendapatkan lebih dari yang dapat kita gunakan. Bagi buruh, nilai kerja selama dua belas jam ialah tiga mark, bagi si kapitalis enam mark, dari enam mark ini tiga mark dibayarkan oleh si kapitalis kepada si buruh sebagai upah dan tiga mark dikantonginya sendiri. Kalau begitu kerja bukannya mempunyai satu tetapi dua nilai dan lagi nilai-nilai yang sangat berbeda!
Kontradiksi itu menjadi lebih-lebih lagi gilanya serenta nilai-nilai yang dinyatakan dengan uang itu kita kembalikan menjadi waktu kerja. Selama dua belas jam kerja tercipta nilai baru sebanyak enam mark. Dari itu, dalam enam jam tercipta tiga mark–jumlah yang diterima oleh buruh untuk duabelas jam kerja. Untuk dua belas jam kerja buruh menerima sebagai nilai setaranya hasil kerja enam jam. Karena itu, atau kerja mempunyai dua nilai, yang satu dua kali sebesar yang lain, atau duabelas sama dengan enam! Kedua-duanya omong-kosong belaka.
Bagaimanapun juga berputar belit semau kita, kita tidak dapat ke luar dari kontradiksi ini, selama kita berbicara tentang jual-beli kerja dan nilai kerja. Dan inipun terjadi pada para ahli ekonomi. Cabang terakhir dari ilmu ekonomi klasik, mazhab Ricardo, telah kandas terutama karena tak-terpecahkannya kontradiksi ini. Ilmu ekonomi klasik telah masuk ke jalan buntu. Orang yang menemukan jalan ke luar dari jalan buntu ini ialah Karl Marx.
Yang telah dianggap oleh ahli-ahli ekonomi sebagai biaya produksi “kerja” bukanlah biaya produksi kerja melainkan biaya produksi buruh yang hidup itu sendiri. Dan yang dijual oleh buruh ini kepada si kapitalis bukan kerjanya. “Serenta kerjanya itu betul-betul dimulai,” kata Marx, “maka kerja itu sudah bukan menjadi miliknya lagi; karena itu tidak dapat dijual lagi olehnya.” Paling banter, dia dapat menjual bakal kerjanya, yaitu berjanji melakukan sejumlah kerja tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu. Tetapi, dengan demikian, dia tidak menjual kerja (ini harus lebih dulu dilaksanakan) melainkan menyediakan tenaga-kerjanya kepada si kapitalis untuk suatu jangka waktu tertentu (dalam hal kerja jamjaman) atau untuk tujuan suatu hasil tertentu (dalam hak kerja potongan) dengan mendapatkan pembayaran tertentu: ia menyewakan, atau menjual, tenagakerjanya. Tetapi tenaga kerja ini berpaut dengan dirinya dan tidak dapat dipisahkan darinya. Karena itu, biaja produksi tenaga kerja itu sama dengan biaya produksi dirinya; apa yang dinamakan oleh para ahli ekonomi biaya produksi kerja sesungguhnya biaya produksi si buruh dan dengan itu juga biaya produksi tenagakerjanya. Dan dengan demikian dapat kita kembali dari biaya produksi tenagakerja ke nilai tenaga kerja dan menentukan jumlah kerja-perlu sosial yang dibutuhkan untuk memproduksi tenagakerja yang berkualitas tertentu, sebagaimana dilakukan oleh Marx dalam bab tentang penjual-belian tenaga kerja. (Kapital bab IV, 3)[4]
Sekarang apakah yang terjadi setelah buruh menjual tenagakerjanya kepada si kapitalis, yaitu menyediakan tenagakerjanya kepada si kapitalis dengan mendapatkan upah dalam pertukaran—upah harian atau upah-potongan–yang telah disetujui sebelumnya? Kapitalis membawa buruh ke dalam bengkel atau pabriknya, tempat semua barang yang diperlukan untuk bekerja–bahan-bahan mentah, bahan-bahan tambahan (batubara, cat, dsb.), perkakas-perkakas, mesin-mesin–telah tersedia. Di sini buruh mulai membanting tulang. Upahnya sehari mungkin, seperti di atas, tiga mark–dan dalam hubungan ini tak ada perbedaan sedikitpun apakah itu diterimanya sebagai upah-harian atau upah-potongan. Di sini juga kita umpamakan lagi bahwa dengan kerjanya dalam dua belas jam buruh menambah nilai baru enam mark pada bahan-bahan mentah yang telah diperlukan, nilai baru mana direalisasi oleh si kapitalis pada penjualan baranghasil kerja yang sudah jadi. Dari sini tiga mark dibayarkannya kepada si buruh, yang tiga mark lagi diambil untuk dirinya sendiri. Jika sekarang, buruh menciptakan nilai enam mark dalam dua belas jam, maka dalam enam jam dia menciptakan tiga mark. Karenanya, setelah ia bekerja enam jam untuk si kapitalis, dia telah membayar kembali kepada si kapitalis nilai-imbangan tiga mark yang terkandung dalam upahnya. Setelah kerja enam jam mereka keduanya impas, tak ada yang berhutang satu pfennigpun kepada yang lainnya.
“Nanti dulu!” teriak si kapitalis sekarang. “Saya telah menyewa buruh selama sehari suntuk, selama dua belas jam. Tetapi enam jam hanyalah setengah hari. Maka itu teruslah bekerja sampai habis yang enam jam lagi–baru sesudah itu kita akan impas!” Dan, dalam kenyataannya, buruh harus memenuhi kontraknya yang dibuatnya “dengan sukarela,” dan menurut kontrak ini ia telah berjanji sendiri akan bekerja selama dua belas jam penuh untuk memperoleh hasil kerja yang makan enam jam kerja.
Sama halnya juga dengan upah-potongan. Marilah kita umpamakan bahwa buruh kita membuat duabelas potong dari satu barang-dagangan dalam duabelas jam. Masing-masing potong
itu makan biaya dua mark untuk bahan mentah dan keausan dan dijual dengan dua setengah mark. Kemudian, si kapitalis, menurut perumpamaan yang sama seperti di atas, akan memberikan kepada buruh duapuluhlima pfennig untuk setiap potong: sehingga menjadi tiga mark untuk duabelas potong [1 mark = 100 pfennig], untuk memperoleh jumlah ini buruh memerlukan dua belas jam. Si kapitalis menerima tigapuluh mark untuk duabelas potong; memotong dua puluh empat mark untuk bahan-bahan mentah dan keausan dan tinggal enam mark, dan dari jumlah ini ia membayar tiga mark kepada si buruh sebagai upah dan mengantongi tiga mark. Jadi sama saja seperti di atas. Dalam hal ini juga buruh bekerja enam jam untuk dirinya sendiri, yaitu, guna penggantian upahnya (setengah jam dalam tiap-tiap jam selama dua belas jam) dan enam jam untuk si kapitalis.
Kesukaran yang mengandaskan ahli-ahli ekonomi yang terbaik, selama mereka berpangkal pada nilai “kerja,” hilang-lenyap serenta kita berpangkal pada nilai “tenagakerja” sebagai gantinya. Dalam masyarakat kapitalis zaman kita sekarang ini tenaga kerja adalah suatu barang-dagangan, suatu barang-dagangan seperti setiap barang-dagangan lainnya, namun suatu barang-dagangan yang istimewa sekali. Yaitu, ia mempunyai sifat istimewa sebagai suatu daya yang menciptakan nilai, suatu sumber nilai, dan sesungguhnya, dengan perlakuan yang sepantasnya ia merupakan suatu sumber akan nilai yang lebih banyak ketimbang yang dimilikinya sendiri. Dengan keadaan produksi seperti sekarang ini, tenaga kerja manusia tidak hanya menghasilkan dalam sehari nilai yang lebih besar dari yang dimilikinya dan biayanya sendiri; dengan setiap penemuan ilmiah baru, dengan setiap penemuan teknik baru, kelebihan hasilnya setiap hari di atas biayanya setiap hari bertambah besar, dan karenanya bagian dari hari-kerja di mana buruh bekerja untuk menghasilkan penggantian upah-hariannya berkurang; akibatnya, pada pihak lain, bagian dari hari-kerja di mana ia harus menghadiahkan kerjanya kepada si kapitalis tanpa dibayar itu bertambah besar.
Dan inilah susunan ekonomi seluruh masyarakat kita dewasa ini: hanya klas buruh sendirilah yang menghasilkan semua nilai. Sebab nilai hanyalah suatu pernyataan yang lain bagi kerja, yaitu pernyataan dengan mana dalam masyarakat kapitalis kita dewasa ini dimaksudkan jumlah kerja-perlu sosial yang terkandung dalam barang-dagangan tertentu. Akan tetapi, nilai-nilai yang dihasilkan kaum buruh ini bukan kepunyaan kaum buruh. Nilai-nilai itu adalah kepunyaan para pemilik bahan-bahan mentah, mesin-mesin, perkakas-perkakas, dan dana-cadangan yang memungkinkan pemilik-pemilik ini membeli tenaga kerja kelas buruh. Oleh karena itu, dari seluruh jumlah barang hasil yang dihasilkan olehnya, klas buruh menerima kembali hanya sebagian saja bagi dirinya sendiri. Dan sebagaimana baru saja kita lihat, bagian lainnya, yang diambil oleh klas kapitalis untuk dirinya sendiri dan paling-paling harus membaginya dengan klas pemilik tanah, bertambah besar dengan setiap penemuan dan pendapatan baru, sedang bagian yang terbagi kepada klas buruh (dihitung perkepala) hanya bertambah sangat lambat dan tak seberapa atau sama sekali tidak, dan bahkan dalam keadaan tertentu mungkin merosot.
Tetapi penemuan-penemuan dan pendapatan-pendapatan yang silih-berganti dengan semakin cepat, produktivitas kerja manusia yang naik dari hari ke hari sampai pada batas yang belum pernah terdengar dulu, akhirnya menimbulkan suatu konflik yang mengakibatkan ekonomi kapitalis dewasa ini mesti binasa. Pada satu pihak kekayaan yang tak-terhingga dan kelimpahan barang hasil-barang hasil yang tak terbelikan oleh para pembeli; pada pihak lain, massa banyak dari masyarakat yang diproletarkan, yang menjadi buruh-upahan, dan justru karena itulah dibikin tak mampu memiliki kelimpahan baranghasil-baranghasil ini bagi dirinya sendiri. Pembagian masyarakat menjadi kelas kecil yang luar biasa kayanya dan kelas besar dari kaum pekerja-upahan yang tak bermilik menimbulkan suatu masyarakat yang tercekik karena kelimpahannya sendiri, sedang mayoritas yang besar dari anggota-anggotanya hampir, atau bahkan sama sekali tidak terlindung dari kemiskinan yang luar biasa. Keadaan seperti ini dari hari ke hari menjadi lebih gila dan–menjadi lebih tidak perlu. Keadaan ini harus dilenyapkan, ia dapat dilenyapkan. Susunan masyarakat baru adalah mungkin di mana perbedaan-perbedaan klas dewasa ini akan lenyap dan di mana–barangkali setelah satu periode peralihan yang pendek yang membawa beberapa penderitaan, tetapi bagaimana pun juga mempunyai nilai moral yang tinggi–melalui penggunaan dan perluasan secara berencana atas tenaga-tenaga produktif raksasa yang telah ada dari semua anggota masyarakat, dan dengan kewajiban bekerja yang serbasama, maka alat-alat penghidupan, untuk menikmati hidup, untuk pengembangan dan penggunaan semua kecakapan jasmani dan rohani, akan tersedia dalam ukuran yang sama dan dengan semakin penuh. Dan bahwa kaum buruh menjadi semakin gigih untuk mencapai susunan masyarakat baru ini akan didemonstrasikan di kedua tepi lautan pada Hari Satu Mei, esok hari, dan pada hari Minggu, 3 Mei.[5]
Friedrich Engels
London, 30 April, 1891
Catatan:
[1] Neue Rheinische Zeitung (Suratkabar Rhein Baru): Terbit di kota Koeln dari tgl. 1 Juni 1848 sampai 19 Mei 1849, Karl Marx adalah redaktur-kepalanya.
[2] Dalam buku Kapital Marx berkata: “……. Dengan ekonomi politik klasik, saya artikan ekonomi yang, sejak zaman W. Petty, menyelidiki hubungan-hubungan produksi yang sesungguhnya di dalam masyarakat burjuis …..” (Jilid I, penerbitan Moskow 1954 dalam bahasa Inggris, hlm. 81)
Wakil-wakil terpenting dari ekonomi politik klasik di Inggris ialah Adam Smith dan David Ricardo
[3] “Walaupun ia pertama-tama mengambil bentuk dalam pikiran-pikiran beberapa orang zeni pada akhir abad tujuh belas, namun ekonomi politik dalam arti sempit, dalam perumusannya secara positif oleh kaum fisiokrat dan Adam Smith, pada hakekatnya adalah anak abad delapanbelas…..” (F. Engels, Anti-Dühring, penerbitan Moskow 1954 dalam bahasa Inggris, hlm. 209).
[4] Karl Marx, Kapital, jilid I, penerbitan Moskow 1954 dalam bahasa Inggris, Bab VI, hlm. 167-176.
[5] Serikat-serikat buruh Inggris biasa merayakan Hari Raya Satu Mei pada hari Minggu pertama sesudah tgl. 1 Mei, yang pada th. 1891 jatuh pada tgl. 3 Mei.