Marx menjelaskan masalah ini dengan teramat menyeluruh dalam bukunya Kritik terhadap Program Gotha[72] (surat kepada Bracke, 5 Mei, 1875, yang baru diterbitkan pada tahun 1891 di Neue Zeit, vol. IX, 1, dan yang telah diterbitkan dalam bahasa Rusia di sebuah edisi khusus). Bagian polemik dari karya luar biasa ini, yang berisi kritik terhadap Lassalleanisme, boleh dikatakan telah menutupi bagian positifnya, yaitu analisis mengenai hubungan antara perkembangan komunisme dan melenyapnya negara.
Bila kita membandingkan secara dangkal surat Marx kepada Bracke tertanggal 5 Mei 1875 dan surat Engels kepada Bebel tertanggal 28 Maret 1875, yang telah kita bahas di atas, mungkin terlihat bahwa Marx lebih membela negara dibandingkan Engels, dan bahwa perbedaan pendapat antara kedua penulis ini mengenai masalah negara sangat besar.
Engels menyarankan kepada Bebel agar menghentikan semua perbincangan mengenai negara, agar kata “negara” dihapus sama sekali dari program dan diganti dengan kata “komunitas”. Engels bahkan menyatakan bahwa Komune sudah bukan lagi negara dalam arti sebenarnya. Sedang Marx bahkan berbicara tentang “negara masa depan dalam masyarakat komunis”, yakni, tampaknya Marx mengakui perlunya negara bahkan di bawah komunisme.
Namun pandangan seperti itu pada dasarnya salah. Jika dicermati lebih seksama, pandangan Marx dan Engels mengenai negara dan melenyapnya negara benar-benar identik, dan ungkapan Marx yang dikutip di atas mengacu pada negara yang sedang dalam proses melenyap.
Jelasnya, mustahil menetapkan kapan tepatnya di masa depan negara akan “melenyap”, terutama karena ini jelas akan menjadi proses yang panjang. Perbedaan yang tampaknya ada antara Marx dan Engels di sini adalah karena mereka membahas subjek yang berbeda dan mengejar tujuan yang berbeda. Engels ingin menunjukkan kepada Bebel secara gamblang, tajam, dan garis besar bagaimana absurdnya prasangka-prasangka yang ada saat ini mengenai negara (prasangka yang juga dimiliki oleh Lassalle). Marx hanya menyentuh masalah ini secara sepintas saja, karena dia tertarik pada topik lain, yaitu perkembangan masyarakat komunis.
Keseluruhan teori Marx adalah penerapan teori perkembangan – dalam bentuknya yang paling konsisten, lengkap, dipertimbangkan masak-masak dan substansial – pada kapitalisme modern. Tentu saja, Marx dihadapkan pada problem menerapkan teori ini pada keruntuhan kapitalisme yang akan datang dan pada perkembangan masa depan komunisme di masa depan.
Berdasarkan fakta-fakta apa masalah perkembangan masa depan komunisme di masa depan dapat dijawab?
Berdasarkan fakta bahwa komunisme berasal dari kapitalisme, bahwa komunisme berkembang secara historis dari kapitalisme, dan bahwa komunisme merupakan hasil dari aksi kekuatan sosial yang dilahirkan oleh kapitalisme. Tidak ada secuil pun upaya dari Marx untuk mengarang-ngarang utopia, untuk menebak seenaknya apa yang tidak dapat diketahui. Marx menyelidiki masalah komunisme layaknya seorang peneliti biologi menyelidiki masalah perkembangan, katakanlah, sebuah spesies baru, setelah dia mengetahui spesies tersebut berasal dari mana dan tengah berevolusi ke arah mana.
Pertama-tama, Marx menepis kekisruhan dalam Program Gotha mengenai relasi antara negara dan masyarakat. Dia menulis:
“‘Masyarakat masa kini’ adalah masyarakat kapitalis, yang eksis di semua negeri beradab, yang kurang lebih bebas dari unsur-unsur abad pertengahan, kurang lebih dimodifikasi oleh perkembangan historis yang partikular dari masing-masing negeri, kurang lebih maju. Di sisi lain, ‘negara saat ini’ berubah sesuai dengan perbatasan negeri. Negara ini berbeda di Kekaisaran Prusia-Jerman dibandingkan dengan Swiss, dan berbeda di Inggris dibandingkan dengan Amerika Serikat. Oleh karenanya, ‘negara saat ini’ adalah sebuah fiksi.
“Meskipun demikian, negara-negara yang berbeda dari bangsa-bangsa beradab yang berbeda, terlepas dari keragaman bentuknya, semuanya memiliki kesamaan: mereka didasarkan pada masyarakat borjuis modern, yang kurang lebih berkembang secara kapitalis. Oleh karena itu, negara-negara tersebut juga memiliki karakteristik utama yang sama. Dalam pengertian ini, kita dapat berbicara tentang ‘negara saat ini’, yang berbeda dengan negara masa depan, di mana akar dari negara saat ini, yaitu masyarakat borjuis, sudah tidak ada lagi.”
“Pertanyaan yang kemudian muncul: transformasi apa yang akan dialami negara dalam masyarakat komunis? Dengan kata lain, fungsi-fungsi sosial apa yang akan tetap ada di sana yang serupa dengan fungsi-fungsi negara saat ini? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab secara ilmiah, dan kita tidak dapat menjawab pertanyaan ini dengan memadukan kata rakyat dengan kata negara dalam ribuan kombinasi.”[73]
Setelah mencemooh semua pembicaraan tentang “negara rakyat”, Marx merumuskan pertanyaan tersebut dan memberikan peringatan, bahwa mereka yang mencari jawaban ilmiah sebaiknya hanya menggunakan data ilmiah yang sudah mapan.
Fakta pertama yang telah dibuktikan secara akurat oleh seluruh teori perkembangan, oleh sains secara keseluruhan – sebuah fakta yang diabaikan oleh kaum utopis, dan diabaikan oleh kaum oportunis masa kini, yang takut akan revolusi sosialis – adalah, secara historis, pasti ada sebuah tahapan khusus, atau sebuah fase khusus, transisi dari kapitalisme ke komunisme.
Marx melanjutkan:
“Di antara masyarakat kapitalis dan komunis terdapat periode transformasi revolusioner dari masyarakat yang satu ke yang lain. Sejalan dengan ini, terdapat juga periode transisi politik di mana negara tidak lain adalah kediktatoran revolusioner proletariat.”[74]
Marx mendasarkan kesimpulan ini pada analisis mengenai peran yang dimainkan oleh proletariat dalam masyarakat kapitalis modern, pada data mengenai perkembangan masyarakat ini, dan pada tak-terdamaikannya kepentingan antagonistis antara proletariat dan borjuasi.
Sebelumnya masalahnya diajukan seperti berikut: untuk mencapai emansipasinya, proletariat harus menggulingkan borjuasi, memenangkan kekuasaan politik dan mendirikan kediktatoran revolusionernya.
Sekarang masalahnya diajukan agak berbeda: transisi dari masyarakat kapitalis – yang sedang berkembang menuju komunisme – ke masyarakat komunis tidak mungkin terjadi tanpa “periode transisi politik”, dan negara pada periode ini hanya bisa menjadi kediktatoran revolusioner proletariat.
Lalu, apa hubungan kediktatoran ini dengan demokrasi?
Kita telah melihat bahwa Manifesto Komunis semata menempatkan dua konsep berikut secara berdampingan: “menempatkan proletariat ke posisi kelas penguasa” dan “memenangkan perjuangan demokrasi”. Berdasarkan semua yang telah dikatakan di atas, kita dapat menentukan dengan lebih tepat bagaimana demokrasi berubah dalam transisi dari kapitalisme ke komunisme.
Dalam masyarakat kapitalis, selama kapitalisme berkembang dalam kondisi yang paling baik, kita memiliki demokrasi yang kurang lebih utuh dalam republik demokratik. Namun demokrasi ini selalu terkekang oleh batasan-batasan sempit yang ditetapkan oleh eksploitasi kapitalis, dan sebagai akibatnya dalam praktiknya selalu tetap menjadi demokrasi untuk kelompok minoritas, hanya untuk kelas berpunya, hanya untuk kaum kaya. Kebebasan dalam masyarakat kapitalis selalu sama seperti di republik Yunani kuno: kebebasan bagi pemilik budak. Karena kondisi eksploitasi kapitalis, kaum budak upahan modern begitu terpuruk oleh kemelaratan dan kemiskinan sehingga “mereka tidak punya kesempatan untuk memikirkan demokrasi”, “tidak punya kesempatan untuk memikirkan politik”; selama masa damai, mayoritas penduduk dihalangi dari kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik.
Kebenaran pernyataan ini mungkin paling jelas terkonfirmasi di Jerman, karena legalitas konstitusional terus terjamin di sana untuk waktu yang sangat lama – hampir setengah abad (1871-1914 ) – dan selama periode ini kaum Sosial-Demokrat telah berhasil meraih lebih banyak pencapaian dibandingkan negeri-negeri lain dalam hal “memanfaatkan legalitas”, dan mengorganisir proporsi buruh yang lebih besar ke dalam partai politik dibandingkan negeri lain mana pun di dunia.
Berapa proporsi terbesar dari budak upahan yang sadar politik dan aktif secara politik yang sejauh ini tercatat dalam masyarakat kapitalis? Satu juta anggota Partai Sosial Demokrat – dari 15.000.000 pekerja-upahan! Tiga juta terorganisir dalam serikat buruh – dari 15.000.000!
Demokrasi untuk kelompok minoritas kecil, demokrasi untuk kaum kaya – itulah demokrasi masyarakat kapitalis. Jika kita periksa lebih dekat mesin demokrasi kapitalis, kita akan saksikan di mana-mana, di detail-detail “kecil” – yang seharusnya kecil – dalam undang-undang pemilu (kualifikasi tempat tinggal, pengecualian terhadap perempuan, dll.), dalam teknik lembaga-lembaga perwakilan, dalam hambatan nyata atas hak berkumpul (bangunan umum bukan untuk “orang miskin”!), dalam pers yang dikelola murni secara kapitalis, dll., dll., – kita saksikan restriksi demi restriksi terhadap demokrasi. Restriksi, pengecualian, dan hambatan bagi kaum miskin ini tampak sepele, terutama di mata orang yang tidak pernah mengenal kemiskinan dan tidak pernah berhubungan dekat dengan kelas tertindas dalam kehidupan mereka (dan sembilan dari 10, jika tidak 99 dari 100, jurnalis dan politisi borjuis termasuk dalam kategori ini); namun dalam jumlah totalnya restriksi-restriksi ini mengecualikan dan menyingkirkan kaum miskin dari dunia politik, dari partisipasi aktif dalam demokrasi.
Marx memahami esensi demokrasi kapitalis ini dengan sangat baik ketika, dalam menganalisis pengalaman Komune, ia mengatakan bahwa kaum tertindas diperbolehkan setiap beberapa tahun sekali untuk memilih perwakilan kelas penindas mana yang akan mewakili dan menindas mereka di parlemen!
Tetapi dari demokrasi kapitalis ini – yang mau tidak mau adalah demokrasi yang sempit dan secara sembunyi-sembunyi mengesampingkan kaum miskin, dan oleh karena itu sepenuhnya munafik dan palsu – perkembangan ke depan tidak berjalan secara sederhana, langsung dan mulus, menuju “demokrasi yang semakin hari semakin besar”, seperti yang diharapkan oleh para profesor liberal dan kaum oportunis borjuis-kecil. Tidak, perkembangan ke depan, yaitu perkembangan menuju komunisme, berlangsung melalui kediktatoran proletariat, dan tidak bisa tidak, karena perlawanan kaum kapitalis-penghisap tidak dapat dipatahkan oleh siapapun selain kaum proletar atau dengan cara lain apa pun selain kediktatoran.
Dan kediktatoran proletariat, yaitu lapisan pelopor kaum tertindas yang terorganisir sebagai kelas penguasa dengan tujuan menindas kaum penindas, tidak bisa hanya menghasilkan perluasan demokrasi. Bersamaan dengan perluasan demokrasi yang masif, yang untuk pertama kalinya menjadi demokrasi untuk kaum miskin, demokrasi untuk rakyat, dan bukan demokrasi untuk kaum kaya, kediktatoran proletariat menerapkan serangkaian restriksi terhadap kebebasan kaum penindas, kaum penghisap, kaum kapitalis. Kita harus menindas mereka untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan upahan, perlawanan mereka harus ditumpas dengan kekerasan; jelas bahwa tidak ada kebebasan dan tidak ada demokrasi selama masih ada penindasan dan kekerasan.
Engels mengekspresikan ini dengan sangat baik dalam suratnya kepada Bebel ketika ia mengatakan, seperti yang akan diingat oleh pembaca, bahwa “proletariat membutuhkan negara, bukan demi kepentingan kebebasan, melainkan untuk menekan musuh-musuhnya, dan segera setelah kita dapat berbicara tentang kebebasan, maka negara akan lenyap.”
Demokrasi untuk mayoritas luas rakyat, dan penindasan dengan kekerasan, yaitu mengecualikan kaum penghisap dan penindas dari demokrasi – inilah perubahan yang dialami demokrasi selama transisi dari kapitalisme ke komunisme.
Hanya dalam masyarakat komunis, ketika perlawanan kaum kapitalis telah sepenuhnya dipatahkan, ketika tidak ada lagi kaum kapitalis, ketika tidak ada lagi kelas-kelas (yakni, ketika tidak ada perbedaan antara anggota-anggota masyarakat sehubungan dengan relasi mereka dengan alat-alat produksi sosial), barulah “negara ... lenyap”, dan “kita dapat berbicara tentang kebebasan”. Hanya pada saat itulah demokrasi yang benar-benar utuh menjadi mungkin dan diwujudkan, suatu demokrasi tanpa pengecualian apa pun. Dan hanya pada saat itulah demokrasi akan mulai melenyap, karena fakta sederhana bahwa, setelah rakyat terbebaskan dari perbudakan kapitalis, dari horor, kebiadaban, absurditas, dan kekejaman eksploitasi kapitalis, maka rakyat perlahan-lahan akan menjadi terbiasa menaati kaidah-kaidah dasar dalam hubungan sosial, yang telah dikenal selama berabad-abad dan diulang-ulang selama ribuan tahun dalam semua buku pepatah. Mereka akan terbiasa menaati peraturan tanpa paksaan, tanpa koersi, tanpa subordinasi, tanpa aparatus pemaksa khusus yang disebut negara.
Ungkapan “negara melenyap” dipilih dengan sangat baik, karena ini mengungkapkan proses yang gradual dan spontan. Hanya kebiasaan yang dapat, dan pasti akan, memiliki dampak seperti itu; karena kita saksikan di sekitar kita dalam jutaan kesempatan betapa mudahnya orang menjadi terbiasa mematuhi kaidah-kaidah penting dalam interaksi sosial ketika tidak ada eksploitasi, ketika tidak ada hal yang menimbulkan kemarahan, menimbulkan protes dan pemberontakan, dan menciptakan perlunya penindasan.
Jadi dalam masyarakat kapitalis, demokrasi yang ada adalah demokrasi yang terbatas, menjijikkan, palsu, demokrasi hanya untuk kaum kaya, untuk minoritas. Kediktatoran proletariat, yaitu masa transisi menuju komunisme, untuk pertama kalinya akan menciptakan demokrasi bagi rakyat, bagi mayoritas, bersamaan dengan penindasan yang diperlukan terhadap kaum penghisap, terhadap minoritas. Hanya komunisme yang mampu membangun demokrasi yang benar-benar utuh, dan semakin utuh demokrasi tersebut, semakin cepat demokrasi itu menjadi tidak diperlukan lagi dan melenyap dengan sendirinya.
Dengan kata lain, di bawah kapitalisme negara yang ada adalah negara dalam arti sebenarnya, yaitu mesin penindas khusus satu kelas oleh kelas lain, dan terlebih lagi, penindasan terhadap mayoritas oleh minoritas. Tentu saja, supaya bisa berhasil, penindasan sistematis terhadap mayoritas yang terhisap oleh minoritas yang menghisap memerlukan penindasan yang luar biasa kejam dan biadab, ini memerlukan lautan darah yang telah diarungi oleh umat manusia dalam perbudakan, perhambaan, dan kerja-upahan.
Lebih jauh lagi, selama masa transisi dari kapitalisme ke komunisme, penindasan masih diperlukan, namun ini adalah penindasan terhadap minoritas yang menghisap oleh mayoritas yang terhisap. Sebuah aparatus khusus, sebuah mesin penindas khusus, yaitu “negara”, masih diperlukan, tetapi ini sekarang adalah negara transisional. Ini bukan lagi negara dalam arti sebenarnya; karena penindasan terhadap minoritas (kaum penghisap) oleh mayoritas (budak upahan) adalah tugas yang relatif sangat mudah, sederhana dan alami, sehingga penindasan ini memerlukan pertumpahan darah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penindasan terhadap pemberontakan kaum budak, kaum hamba atau kaum pekerja upahan, dan ini akan merugikan umat manusia dengan biaya yang jauh lebih kecil. Dan ini kompatibel dengan perluasan demokrasi ke mayoritas besar populasi sehingga kebutuhan akan mesin penindas khusus akan mulai hilang. Tentu saja, kaum penghisap tidak mampu menindas rakyat tanpa mesin yang sangat kompleks untuk memenuhi tugas ini, namun rakyat dapat menindas kaum penghisap bahkan dengan “mesin” yang sangat sederhana, hampir tanpa “mesin”, tanpa aparat khusus, dengan organisasi rakyat bersenjata yang sederhana (seperti Soviet Deputi Buruh dan Tentara, yang akan kita bahas nanti).
Yang terakhir, hanya komunisme yang dapat menjadikan negara sama sekali tidak diperlukan, karena tidak ada lagi orang yang perlu ditindas – “tidak ada orang” dalam pengertian sebuah kelas, dalam pengertian perjuangan sistematis melawan lapisan masyarakat tertentu. Kita bukanlah orang-orang utopis, dan kita sama sekali tidak menyangkal kemungkinan dan tak-terelakkannya ekses-ekses yang dilakukan oleh individu, atau perlunya menghentikan ekses-ekses tersebut. Akan tetapi, pertama-tama, kita tidak membutuhkan mesin khusus atau aparatus penindas khusus untuk melakukan ini. Tugas ini akan dilakukan oleh rakyat bersenjata sendiri, sesederhana dan semudah kelompok orang beradab mana pun, bahkan dalam masyarakat modern, melerai perkelahian atau mencegah kekerasan terhadap perempuan. Dan kedua, kita tahu bahwa penyebab sosial utama dari ekses-ekses itu, yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma hubungan sosial, adalah eksploitasi terhadap rakyat, kemelaratan dan kemiskinan mereka. Dengan menghapus penyebab utama ini, ekses-ekses itu pasti akan mulai “melenyap”. Kita tidak tahu seberapa cepat dan dalam urutan bagaimana, tapi kita tahu mereka akan melenyap. Dengan melenyapnya ekses-ekses itu, maka negara juga akan lenyap.
Tanpa membangun utopia, Marx mendefinisikan secara lebih lengkap apa yang dapat didefinisikan sekarang mengenai masa depan ini, yaitu perbedaan antara fase (tingkat, tahapan) masyarakat komunis yang lebih rendah dan lebih tinggi.
Dalam Kritik terhadap Program Gotha, Marx secara rinci membantah gagasan Lassalle bahwa di bawah sosialisme kaum buruh akan menerima “hasil penuh dari kerjanya” (full product of his labour) atau “hasil yang tidak-dikurangi dari kerjanya” (undiminished product of his labour). Marx menunjukkan bahwa dari seluruh kerja sosial masyarakat harus dipotong dana cadangan, dana untuk ekspansi produksi, dana untuk mengganti “keausan” mesin, dan seterusnya. Kemudian dari sarana konsumsi harus dipotong dana untuk biaya administrasi, sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan seterusnya.
Alih-alih menggunakan ungkapan Lassalle yang kabur, tidak jelas, dan umum (“hasil penuh dari kerjanya”), Marx mempertimbangkan secara bijaksana bagaimana persisnya masyarakat sosialis akan mengelola problem-problemnya. Marx melanjutkan dengan membuat analisis konkret mengenai kondisi kehidupan masyarakat di mana tidak ada kapitalisme, dan berkata:
“Apa yang harus kita kaji di sini [dalam menganalisis program partai buruh] adalah masyarakat komunis, bukan seperti yang telah berkembang di atas fondasinya sendiri, tetapi sebaliknya, seperti yang muncul dari masyarakat kapitalis; dengan demikian dalam segala hal, secara ekonomi, moral, dan intelektual, masih dicap dengan tanda lahir masyarakat lama yang dari rahimnya ia lahir.”[75]
Masyarakat komunis inilah, yang baru saja lahir dari rahim kapitalisme dan dalam segala hal ditandai dengan tanda lahir dari masyarakat lama, yang oleh Marx disebut sebagai fase masyarakat komunis “pertama”, atau yang lebih rendah.
Alat-alat produksi bukan lagi milik pribadi individu. Alat-alat produksi adalah milik seluruh masyarakat. Setiap anggota masyarakat, yang melakukan bagian tertentu dari kerja yang diperlukan-secara-sosial, menerima sebuah sertifikat dari masyarakat yang menyatakan bahwa ia telah melakukan sejumlah kerja tertentu. Dan dengan sertifikat ini ia menerima dari toko umum barang konsumsi sejumlah produk yang sesuai dengan sertifikat tersebut. Setelah jumlah kerja yang masuk ke dana publik dipotong, maka setiap buruh menerima dari masyarakat sebanyak yang telah ia berikan kepadanya.
“Kesetaraan” tampaknya berkuasa.
Tetapi ketika Lassalle, dalam memandang tatanan sosial seperti itu (biasanya disebut sosialisme, tetapi oleh Marx disebut sebagai fase pertama komunisme), mengatakan bahwa ini adalah “distribusi yang adil”, bahwa ini adalah “hak yang setara bagi semua orang atas produk kerja yang setara”, Lassalle keliru dan Marx mengekspos kekeliruan ini.
“Oleh karena itu, kesetaraan hak,” kata Marx, dalam hal ini tentu saja masih mematuhi “hukum borjuis”, yang, seperti semua hukum, menyiratkan ketidaksetaraan. Semua hukum merupakan penerapan ukuran kesetaraan terhadap orang-orang yang berbeda, orang-orang yang nyatanya tidak sama, tidak setara satu sama lain. Itulah sebabnya “kesetaraan hak” merupakan pelanggaran terhadap kesetaraan dan merupakan ketidakadilan. Faktanya, setiap orang, yang telah melakukan kerja sosial sebanyak orang lain, menerima porsi produk sosial yang sama (setelah pemotongan yang disebutkan di atas).
Tetapi manusia tidaklah sama: yang satu kuat, yang lain lemah; yang satu sudah menikah, yang lain belum; yang satu punya anak lebih banyak, yang lain lebih sedikit, dan seterusnya. Dan kesimpulan yang ditarik Marx adalah:
“...Dengan kinerja kerja yang sama, dan karenanya mendapat porsi yang sama dalam dana konsumsi sosial, seseorang sebenarnya akan menerima lebih banyak dari yang lain, yang satu akan lebih kaya dari yang lain, dan seterusnya. Untuk menghindari semua cacat ini, hak yang seharusnya setara malah harus menjadi tidak setara.”[76]
Oleh karena itu, fase pertama komunisme belum dapat memberikan keadilan dan kesetaraan; perbedaan, dan perbedaan yang tidak adil, dalam kekayaan akan tetap ada, tetapi eksploitasi manusia oleh manusia akan menjadi mustahil karena alat-alat produksi – pabrik, mesin, tanah, dll.– sudah tidak mungkin lagi dirampas dan dijadikan kepemilikan pribadi. Dalam membongkar ungkapan-ungkapan borjuis kecil Lassalle yang kabur itu mengenai “kesetaraan” dan “keadilan” secara umum, Marx menunjukkan alur perkembangan masyarakat komunis, yang pada mulanya terpaksa menghapuskan hanya “ketidakadilan” dalam alat-alat produksi yang dirampas oleh individu, dan yang tidak mampu dengan seketika menghapus ketidakadilan lainnya, yaitu distribusi barang-barang konsumsi “menurut jumlah kerja yang dilakukan” (dan bukan berdasarkan kebutuhan).
Para ekonom vulgar, termasuk para profesor borjuis dan Tugan[77] “kita”, terus-menerus mengkritik kaum sosialis karena melupakan ketidaksetaraan di antara manusia dan “bermimpi” ingin menghapus ketidaksetaraan ini. Kritik seperti itu, seperti yang kita lihat, hanya membuktikan ketidaktahuan ekstrem dari para ideolog borjuis itu.
Marx tidak hanya dengan cermat mempertimbangkan ketidaksetaraan manusia yang tidak dapat dihindari, namun ia juga mempertimbangkan fakta bahwa semata-mata mengubah alat-alat produksi menjadi milik bersama seluruh masyarakat (yang biasa disebut “sosialisme”) tidak menghapus cacat dalam distribusi dan ketidaksetaraan “hukum borjuis” yang terus mendominasi selama produk dibagi “menurut jumlah kerja yang dilakukan”. Melanjutkan, Marx mengatakan:
“Tetapi cacat-cacat ini tidak bisa dihindari pada fase pertama masyarakat komunis yang baru saja lahir, setelah penderitaan persalinan yang panjang, dari masyarakat kapitalis. Hukum tidak akan pernah bisa lebih tinggi dari struktur ekonomi masyarakat dan perkembangan budayanya yang dikondisikan oleh struktur ekonomi tersebut.”[78]
Jadi, pada fase pertama masyarakat komunis (yang biasa disebut sosialisme) “hukum borjuis” tidak dihapuskan secara keseluruhan, tetapi hanya sebagian, hanya sebanding dengan revolusi ekonomi yang telah dicapai sejauh ini, yaitu hanya dalam hal alat-alat produksi. “Hukum borjuis” mengakui alat-alat produksi sebagai milik pribadi individu. Sosialisme mengubahnya menjadi milik bersama. Sejauh itu – dan hanya sejauh itu saja – “hukum borjuis” lenyap.
Namun, hukum borjuis tetap ada sejauh menyangkut bagian lainnya; hukum borjuis tetap memiliki kapasitas sebagai regulator (faktor penentu) dalam distribusi produk dan pembagian kerja di antara anggota masyarakat. Prinsip sosialis, “Siapa yang tidak bekerja tidak boleh makan”, telah terwujud; prinsip sosialis lainnya, “Jumlah produk yang setara untuk jumlah kerja yang setara”, juga telah terwujud. Tapi ini belumlah komunisme, dan ini belum menghapuskan “hukum borjuis”, yang memberi individu-individu yang tidak-setara jumlah produk yang setara, sebagai imbalan atas jumlah kerja yang tidak-setara (sungguh-sungguh tidak setara).
Ini adalah “catat”, kata Marx, tetapi ini tidak terelakkan pada fase pertama komunisme; karena jika kita tidak ingin terjerumus ke dalam utopisme, kita tidak boleh berpikir bahwa setelah menggulingkan kapitalisme orang-orang akan langsung belajar bekerja untuk masyarakat tanpa kaidah hukum apapun. Selain itu, penghapusan kapitalisme tidak dengan seketika menciptakan syarat-syarat ekonomi untuk perubahan seperti itu.
Sekarang, tidak ada kaidah lain selain kaidah “hukum borjuis”. Maka dari itu, masih diperlukan negara yang, selain menjaga kepemilikan bersama atas alat-alat produksi, juga menjaga kesetaraan dalam kerja dan distribusi barang.
Negara melenyap sejauh tidak ada lagi kapitalis, tidak ada lagi kelas-kelas, dan sebagai akibatnya, tidak ada lagi kelas yang bisa ditindas.
Tetapi negara belum sepenuhnya lenyap, karena “hukum borjuis” masih perlu dipertahankan, “hukum borjuis” yang mensahkan ketidaksetaraan yang sesungguhnya. Agar negara dapat lenyap sepenuhnya, diperlukan komunisme yang utuh.
Marx melanjutkan:
“Dalam fase masyarakat komunis yang lebih tinggi, setelah lenyapnya subordinasi yang memperbudak individu pada pembagian kerja, dan dengan itu lenyap pula antitesis antara kerja mental dan fisik, setelah kerja telah menjadi tidak hanya mata pencaharian tetapi juga kebutuhan utama hidup, setelah kekuatan produktif telah meningkat seiring dengan perkembangan individu secara menyeluruh, dan semua sumber kekayaan kolektif mengalir lebih deras – hanya setelah itulah cakrawala sempit hukum borjuis dapat ditinggalkan seluruhnya dan masyarakat dapat menulis di atas panjinya: Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya!”[79]
Hanya sekarang kita dapat sepenuhnya mengapresiasi kebenaran pernyataan Engels yang tanpa ampun mencemooh absurditas dari penggabungan kata “kebebasan” dan “negara”. Selama negara masih ada, maka tidak akan ada kebebasan. Ketika ada kebebasan, tidak akan ada negara.
Basis ekonomi bagi melenyapnya negara sepenuhnya adalah perkembangan komunisme yang tinggi sehingga antitesis antara kerja mental dan kerja fisik lenyap, yang mengakibatkan lenyapnya salah satu sumber utama ketidaksetaraan sosial modern – sebuah sumber, terlebih lagi, yang tidak dapat dihapuskan dengan segera semata-mata dengan mengubah alat-alat produksi menjadi milik umum, semata-mata dengan mengekspropriasi kaum kapitalis.
Ekspropriasi ini akan memungkinkan kekuatan produktif berkembang hingga ke tingkat yang luar biasa. Dan ketika kita melihat betapa hebatnya kapitalisme telah menghambat perkembangan ini, ketika kita melihat seberapa besar kemajuan yang dapat dicapai berdasarkan tingkat teknik yang telah dicapai, kita berhak mengatakan dengan keyakinan penuh bahwa ekspropriasi terhadap kaum kapitalis pasti akan menghasilkan perkembangan kekuatan produktif yang luar biasa besar. Tetapi, seberapa cepat perkembangan ini akan berlangsung, seberapa cepat perkembangan ini akan mencapai titik di mana kita dapat membebaskan diri kita dari pembagian kerja dan menghapus antitesis antara kerja mental dan fisik, mengubah kerja menjadi “kebutuhan utama hidup” – kita tidak tahu, dan tidak bisa mengetahuinya.
Inilah mengapa kita hanya berhak berbicara mengenai keniscayaan melenyapnya negara, dengan menekankan sifat proses ini yang berkepanjangan dan ketergantungannya pada kecepatan perkembangan fase komunisme yang lebih tinggi. Mengenai pertanyaan mengenai waktu yang diperlukan untuk melenyapnya negara, atau bentuk konkret dari melenyapnya negara, kita hanya bisa membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini terbuka, karena tidak ada materi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Negara akan dapat melenyap sepenuhnya ketika masyarakat mengadopsi kaidah: “Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”, dalam kata lain, ketika rakyat telah menjadi begitu terbiasa menaati norma-norma dasar hubungan sosial dan ketika kerja mereka telah menjadi begitu produktif sehingga mereka akan dengan sukarela bekerja sesuai dengan kemampuannya. “Cakrawala sempit hukum borjuis”, yang memaksa seseorang untuk menghitung, layaknya rentenir yang tamak, apakah dia tidak bekerja setengah jam lebih banyak daripada orang lain, apakah dia tidak menerima upah yang lebih sedikit daripada orang lain – cakrawala sempit ini akan ditinggalkan. Dengan demikian, masyarakat, dalam mendistribusikan barang, tidak perlu lagi mengatur jumlah yang akan diterima oleh masing-masing orang; masing-masing akan mengambil secara bebas “sesuai dengan kebutuhannya”.
Dari sudut pandang borjuis, mudah untuk menyatakan bahwa tatanan sosial seperti itu adalah “utopia belaka” dan mencemooh kaum sosialis karena menjanjikan setiap orang hak untuk menerima dari masyarakat, tanpa kendali apa pun atas kerja setiap warga negara, berapa pun jumlah truffle, mobil, piano, dll. Bahkan sampai hari ini, kebanyakan “kaum intelektual” borjuis hanya bisa mencemooh seperti ini, sehingga menunjukkan ketidaktahuan mereka dan pembelaan egois mereka terhadap kapitalisme.
Ketidaktahuan – karena tidak pernah terlintas dalam kepala kaum sosialis mana pun untuk “menjanjikan” bahwa fase perkembangan komunisme yang lebih tinggi akan tiba. Sehubungan dengan ramalan terbesar kaum sosialis bahwa fase ini akan tiba, ini mensyaratkan bukan level produktivitas kerja hari ini dan bukan tipe orang-orang hari ini, yang, seperti murid-murid seminari dalam kisah Pomyalovsky,[80] mampu merusak barang milik publik “hanya untuk bersenang-senang” dan menuntut hal yang mustahil.
Sebelum fase komunisme yang “lebih tinggi” ini tiba, kaum sosialis menuntut kontrol yang paling ketat oleh masyarakat dan oleh negara atas kebijakan tenaga kerja dan kebijakan konsumsi; tetapi kontrol ini harus dimulai dengan mengekspropriasi kaum kapitalis, dengan menerapkan kontrol buruh atas kapitalis, dan harus dilaksanakan bukan oleh negara birokrat, melainkan oleh negara buruh bersenjata.
Para ideolog borjuis (dan kacung mereka, seperti Tsereteli, Chernov, dkk.) membela kapitalisme dengan mengalihkan topik diskusi. Mereka memilih berdiskusi dan berdebat kusir mengenai masa depan yang jauh, daripada mendiskusikan problem politik masa-kini yang vital dan mendesak, yakni: ekspropriasi kaum kapitalis, pengubahan semua warga negara menjadi buruh dan pegawai yang bekerja di bawah satu “sindikat” raksasa – yaitu seluruh negara – dan subordinasi sepenuhnya seluruh kerja sindikat ini di bawah negara yang sungguh-sungguh demokratik, yaitu negara Soviet Deputi Buruh dan Tentara.
Faktanya, ketika seorang profesor terpelajar, yang diikuti oleh kaum filistin, yang lalu diikuti oleh orang-orang seperti Tsereteli dan Chernov, berbicara tentang utopia yang liar, tentang janji-janji demagogis kaum Bolshevik, tentang kemustahilan “memperkenalkan” sosialisme, mereka sebenarnya tengah berbicara mengenai tahapan komunisme yang lebih tinggi, yang belum pernah dijanjikan atau bahkan terpikirkan untuk “diperkenalkan” oleh siapa pun, karena, secara umum, ini tidak dapat “diperkenalkan”.
Dan ini membawa kita pada masalah perbedaan ilmiah antara sosialisme dan komunisme yang disinggung Engels dalam argumennya yang dikutip di atas mengenai kekeliruan nama “Sosial-Demokrat”. Secara politik, perbedaan antara fase komunisme yang pertama, atau yang lebih rendah, dan yang lebih tinggi mungkin akan sangat besar. Namun akan konyol jika kita memperdebatkan perbedaan ini sekarang, di bawah kapitalisme, dan mungkin hanya kaum anarkis yang dapat menganggap ini sebagai hal yang paling penting (jika masih ada kaum anarkis yang tidak belajar apapun dari orang-orang seperti Kropotkin, Grave, Cornelisseen, dan “bintang-bintang” anarkisme lainnya yang telah membelot menjadi sauvinis sosial seperti Plekhanov; mereka telah menjadi “anarko-parit-perang”, seperti yang dikatakan oleh Ghe, salah satu dari sedikit anarkis yang masih mempertahankan selera humor dan hati nuraninya).[81]
Namun perbedaan ilmiah antara sosialisme dan komunisme jelas. Apa yang biasanya disebut sosialisme diistilahkan oleh Marx sebagai fase masyarakat komunis “pertama”, atau lebih rendah. Sejauh alat-alat produksi menjadi milik bersama atau komunal, kata “komunisme” juga berlaku di sini, asalkan kita tidak melupakan bahwa ini bukanlah komunisme sepenuhnya. Signifikansi penting dari penjelasan Marx adalah bahwa di sini pula, ia secara konsisten menerapkan dialektika materialis, teori perkembangan, dan menganggap komunisme sebagai sesuatu yang berkembang dari kapitalisme. Alih-alih menciptakan definisi yang “dibuat-buat” secara skolastik, alih-alih berdebat kusir mengenai kata dan definisi (Apa itu sosialisme? Apa itu komunisme?), Marx memberikan analisis tentang apa yang bisa disebut sebagai tahap-tahap kematangan ekonomi komunisme.
Pada fase pertama, atau tahap pertama, komunisme belum bisa sepenuhnya matang secara ekonomi dan sepenuhnya bebas dari tradisi atau sisa-sisa kapitalisme. Oleh karena itu, muncul fenomena menarik, di mana komunisme pada fase pertamanya masih mempertahankan “cakrawala sempit hukum borjuis”. Tentu saja, hukum borjuis sehubungan dengan distribusi barang-barang konsumsi mesti mengandaikan keberadaan negara borjuis, karena hukum bukanlah apa-apa tanpa adanya aparatus yang mampu menegakkan ketaatan pada kaidah-kaidah hukum.
Oleh karena itu, di bawah fase pertama komunisme, untuk sementara waktu tidak hanya masih ada hukum borjuis, tetapi bahkan negara borjuis, tanpa borjuasi!
Ini mungkin terdengar seperti sebuah paradoks atau teka-teki dialektis yang sering dituduhkan kepada Marxisme oleh orang-orang yang tidak mau bersusah payah sedikit pun untuk mempelajari isinya yang luar biasa mendalam.
Namun pada kenyataannya, di setiap langkah kita dihadapkan pada sisa-sisa yang lama, yang masih bertahan dalam yang baru, baik di alam maupun di masyarakat. Dan Marx tidak dengan seenaknya memasukkan secarik hukum “borjuis” ke dalam komunisme, tetapi ia menunjukkan apa yang secara ekonomi dan politik tidak bisa dihindari dalam masyarakat yang baru keluar dari rahim kapitalisme.
Demokrasi sangatlah penting bagi kelas buruh dalam perjuangannya melawan kapitalisme demi emansipasinya. Tetapi demokrasi sama sekali bukanlah garis pembatas yang tidak boleh dilampaui; demokrasi hanyalah salah satu tahap dalam perjalanan dari feodalisme ke kapitalisme, dan dari kapitalisme ke komunisme.
Demokrasi berarti kesetaraan. Signifikansi besar dari perjuangan proletariat demi kesetaraan dan kesetaraan sebagai sebuah slogan akan menjadi jelas jika kita menafsirkannya dengan tepat sebagai penghapusan kelas. Namun demokrasi hanya berarti kesetaraan formal. Dan segera setelah kesetaraan tercapai bagi semua anggota masyarakat dalam kaitannya dengan kepemilikan alat-alat produksi, yaitu, kesetaraan kerja dan upah, maka umat manusia pasti akan dihadapkan pada masalah untuk melangkah maju lebih jauh lagi, dari kesetaraan formal menuju kesetaraan yang sesungguhnya, yakni, ke berlakunya kaidah “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”. Kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui melalui tahapan apa, melalui kebijakan praktis apa umat manusia akan mencapai cita-cita tertinggi ini. Namun penting untuk menyadari betapa sangat menyesatkannya konsepsi borjuis mengenai sosialisme sebagai sesuatu yang tidak bernyawa, kaku, ajek untuk selamanya, padahal pada kenyataannya hanya sosialisme yang akan menjadi awal dari sebuah langkah maju yang cepat, sejati, dan benar-benar massal, yang melibatkan pertama-tama mayoritas populasi, dan kemudian seluruh populasi, dalam semua ranah kehidupan publik dan pribadi.
Demokrasi adalah sebuah bentuk negara, salah satu variasinya. Sebagai konsekuensinya, seperti semua negara lainnya, demokrasi mewakili, di satu sisi, penggunaan kekerasan yang terorganisir dan sistematis terhadap manusia; tetapi, di sisi lain, demokrasi menandakan pengakuan formal atas kesetaraan warga negara, kesetaraan hak bagi semua orang untuk menentukan struktur negara dan mengelola negara. Ini, pada gilirannya, menghasilkan fakta bahwa, pada tahap tertentu dalam perkembangan demokrasi, demokrasi pertama-tama menyatukan kelas yang mengobarkan perjuangan revolusioner melawan kapitalisme – yaitu kelas proletar – dan memungkinkannya untuk menghancurkan dan menyingkirkan dari muka bumi kaum borjuis, bahkan kaum republiken-borjuis, mesin negara, tentara tetap, polisi dan birokrasi, dan menggantikan mereka dengan sebuah mesin negara yang lebih demokratik, namun tetap sebuah mesin negara, dalam bentuk buruh bersenjata yang lalu membentuk milisi yang melibatkan seluruh populasi.
Di sini “kuantitas berubah menjadi kualitas”: tingkat demokrasi seperti itu berarti melampaui batas-batas masyarakat borjuis dan memulai reorganisasi sosialis. Jika semua orang benar-benar terlibat dalam administrasi negara, maka kapitalisme tidak akan dapat mempertahankan kekuasaannya atas negara. Perkembangan kapitalisme, pada gilirannya, menciptakan prasyarat-prasyarat yang benar-benar memungkinkan “semua orang” terlibat dalam administrasi negara. Beberapa dari prasyarat tersebut adalah: melek huruf universal, yang telah dicapai di sejumlah negeri kapitalis paling maju, kemudian “pelatihan dan pendisiplinan” jutaan buruh oleh aparatus layanan pos, perkeretaapian, pabrik-pabrik besar, perdagangan skala-besar, perbankan, dll., yang besar, kompleks, dan tersosialisasikan.
Dengan adanya prasyarat-prasyarat ekonomi ini, setelah digulingkannya kaum kapitalis dan birokrat, sangatlah mungkin untuk segera menggantikan mereka dengan buruh bersenjata, dengan seluruh rakyat bersenjata, untuk mengontrol produksi dan distribusi dan menghitung kerja dan produk. (Masalah kontrol dan akuntansi tidak boleh disamakan dengan masalah staf insinyur, ahli pertanian, dan tenaga ahli lainnya yang terlatih secara ilmiah. Orang-orang ini hari ini bekerja di bawah komando kapitalis dan akan bekerja bahkan lebih baik esok harinya di bawah komando buruh bersenjata.)
Akuntansi dan kontrol – inilah yang terutama dibutuhkan agar fase pertama masyarakat komunis dapat “bekerja dengan mulus” dan berfungsi dengan baik. Semua warga negara diubah menjadi pegawai yang diupah oleh negara, yang terdiri dari buruh bersenjata. Semua warga negara menjadi karyawan dan buruh yang bekerja di bawah satu “sindikat” negara di seluruh negeri. Yang diperlukan hanyalah mereka harus bekerja secara setara, memenuhi tugas pekerjaan mereka, dan menerima gaji yang setara. Akuntansi dan kontrol yang diperlukan untuk ini telah begitu disederhanakan oleh kapitalisme dan direduksi menjadi operasi pengawasan dan pencatatan yang sangat sederhana – yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang melek huruf, punya pengetahuan tentang empat aturan aritmetika, dan dapat mengeluarkan tanda terima yang sesuai.[82]
Ketika mayoritas rakyat mulai secara mandiri dan di mana-mana mencatat dan menerapkan kontrol atas kaum kapitalis (yang kini telah dijadikan pegawai) dan atas kaum intelektual yang mempertahankan kebiasaan kapitalis mereka, maka kontrol ini akan benar-benar menjadi universal, umum, dan populer; dan tidak akan ada seorang pun yang bisa luput dari kontrol ini.
Seluruh masyarakat akan menjadi satu kantor dan satu pabrik, dengan kesetaraan kerja dan upah.
Setelah mengalahkan kaum kapitalis, setelah menumbangkan kaum penghisap, proletariat akan memperluas kedisiplinan “pabrik” ini ke seluruh masyarakat. Namun, kedisiplinan “pabrik” ini sama sekali bukanlah cita-cita atau tujuan akhir kita. Ini hanyalah sebuah langkah yang diperlukan untuk membersihkan masyarakat secara menyeluruh dari segala keburukan dan kekejian eksploitasi kapitalis, dan untuk kemajuan lebih lanjut.
Segera setelah semua anggota masyarakat, atau setidaknya mayoritas besar, telah belajar untuk mengelola negara dengan kemampuan mereka sendiri, telah mengemban tugas ini ke tangan mereka sendiri, telah mengorganisir kontrol atas minoritas kecil kaum kapitalis, atas kaum intelektual yang ingin mempertahankan kebiasaan kapitalis, dan atas para buruh yang telah sepenuhnya dirusak oleh kapitalisme – sejak saat tidak lagi dibutuhkan pemerintahan dalam bentuk apapun. Semakin utuh demokrasi, semakin dekat waktunya ketika demokrasi tidak lagi diperlukan. Semakin demokratik “negara” yang terdiri dari buruh bersenjata, dan yang “bukan lagi negara dalam arti sebenarnya”, semakin cepat segala bentuk negara mulai melenyap.
Karena ketika semua orang telah belajar untuk mengelola dan benar-benar secara mandiri mengelola produksi sosial, secara mandiri mencatat dan menerapkan kontrol atas para parasit, anak-anak orang kaya, para penipu dan semua “penjaga tradisi kapitalis” lainnya, maka akan menjadi teramat sulit untuk melanggar akuntansi dan kontrol rakyat ini. Pelanggaran atas kontrol ini akan menjadi pengecualian yang langka, dan mungkin akan dihukum dengan begitu cepat dan berat (karena buruh bersenjata adalah manusia yang praktis dan bukan kaum intelektual sentimental, dan mereka tidak akan mengizinkan siapapun untuk meremehkan mereka), sehingga keharusan untuk menaati kaidah-kaidah komunitas yang sederhana dan mendasar akan segera menjadi kebiasaan.
Maka pintu akan terbuka lebar bagi transisi dari fase pertama masyarakat komunis ke fase yang lebih tinggi, dan dengan itu menuju melenyapnya negara sepenuhnya.
[72] Marx, Karl. “Critique of the Gotha Programme”. Marx & Engels Collected Work, Vol. 24. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 75-99.
[73] ibid. hal. 94-95.
[74] ibid. hal. 95.
[75] ibid. hal. 86.
[76] ibid. hal. 87.
[77] Lenin merujuk pada Mikhail Tugan-Baranovsky (1865-1919), ekonom dari Ukraina dan salah satu pemimpin tendensi “Marxisme Legal” di Rusia.
[78] ibid. hal. 87.
[79] ibid. hal. 87.
[80] Ini merujuk pada salah satu novel N. G. Pomyalovsky (1835-1863), Seminary Sketches, yang berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai murid seminari selama 14 tahun. Pomyalovsky dengan akurat menggambarkan kehidupan seminari yang penuh dengan ketidaktahuan dan kebiadaban; para muridnya belajar dengan metode menghafal; favoritisme guru-murid sangat kental; pemikiran independen ditindas; murid yang berani melawan dipecut; yang kuatlah yang berkuasa; semua hal terburuk dari dalam diri murid didorong, sementara hal yang baik dicekik.
[81] Ketika Perang Dunia Pertama meletus, sejumlah tokoh anarkis terkemuka seperti Kropotkin mendukung pihak Sekutu (Inggris dan Prancis) dalam perang ini, dan mendukung keterlibatan Rusia di dalamnya. Dia dan Jean Grave, seorang pemimpin anarkis dari Prancis, lalu menerbitkan Manifesto of the Sixteen, manifesto yang memaparkan posisinya mendukung Pihak Sekutu dalam Perang Dunia, yang ditandatangani oleh 16 tokoh anarkis.
[82] Ketika fungsi-fungsi negara yang lebih penting direduksi menjadi kontrol dan akuntansi oleh buruh sendiri, negara ini akan berhenti menjadi “negara politik” dan “fungsi-fungsi publik akan kehilangan karakter politiknya dan menjadi fungsi-fungsi administrasi semata” (lihat di atas, Bab ke IV, 2, polemik Engels dengan kaum anarkis). [Keterangan Lenin]